KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bicara trade war, maka jangan terlalu berharap perang dagang Amerika dan China bisa cepat selesai. Banyak ekonom melihat yang terjadi sekarang baru puncak dari gunung es. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah supaya perekonomian Indonesia bisa tetap tumbuh? Berikut ini wawancara khusus KONTAN dengan Adrian Panggabean Chief Economist Bank CIMB Niaga Tbk Bagaimana Anda melihat perkembangan trade war Amerika-China yang kadang kelihatan memanas kadang membaik? Saya melihat kalau US trade war itu beberapa dimensi. Dimensi pertama US Trade war itu, mungkin saya bisa melihatnya sekarang akan lama. Karena dari 2 mazhab yang berkembang bahwa trade war itu akan sebentar atau lama, saya melihat di balik isu trade war ini adalah isu hegemoni politik trade war ini adalah a tip of iceberg dari pertarungan hegemoni global. Kalau ini terjadi dimensi berikutnya apa yang akan terjadi China setelah terjadinya trade war saya melihat kalau di China dalam saat ini mungkin yang terjadi bukanlah horizontal integration di dalam manufacturing industry China versus Asia seperti yang terjadi di Jepang pada tahun 80-an. Di mana di Jepang itu dulu kan terjadi trade war antara Jepang dengan US. Terjadi relokasi industri ke Asia terjadi horizontal integration.
Kalau sekarang kelihatannya karena di China itu sendiri kelihatannya mereka masih membutuhkan industri tersebut untuk survival mereka. Jadi pola relokasinya berbeda, sehingga memunculkan vertical integration di mana high end industry tetap ada di eastern dari China, mid end industry itu akan ada dipindahkan ke inferior China kalau yang low end baru akan disebar ke negara-negara lain, kebanyakan ke negara-negara di sepanjang sungai Mekong (Greater Mekong Subregion). Tapi yang jumlah yang low end ini kan enggak terlalu banyak dan low end ini kan akan mendukung yang mid end dan high end industry yang di China. Sehingga trade war yang terjadi sekarang akan menyebabkan perubahan dalam pola ketergantungan antara China dan Asia. Di mana mungkin nanti Asia akan lebih butuh China dibandingkan sebaliknya. Dan ini adalah pola yang berbeda kita lihat 30 tahun lalu pada saat Jepang dan US mengalami isu yang sama. Dimensi ini akan punya implikasi terhadap Indonesia, nah dengan terjadinya vertical integration dengan bentuk ketergantungan seperti ini maka Indonesia itu mungkin tidak akan mendapatkan apa itu namanya keuntungan yang banyak dari relokasi industri. Nah ini masuk dalam dimensi ke-3, yaitu apa yang harus dilakukan Indonesia. Indonesia harus memulai melakukan revitalisasi dari industri manufaktur kita dan mengintegrasikannya dengan global value chain secara lebih broad spektrum, bukan hanya tergantung pada China, tapi China, Jepang, dan mungkin Barat. Tanpa melakukan hal itu, kita akan keluar dari radar industri manufaktur global. Tapi untuk bisa melakukan itu tidak mudah kan tentunya? Untuk menjalankan yang saya istilahkan saja sebagai self triger manufacturing industry revitalization dibutuhkan 3 hal. Pertama kita butuh foreign policy. Direction dari foreign policy yang bisa menjadi payung, dari apa namanya strategi industri manufaktur. Yang kedua kita membutuhkan uang, untuk itu tidak bisa tidak kita secara cepat dan sistematis melakukan mobilisasi dari tabungan domestik agar kita punya uang untuk membeli teknologi tersebut dan dipakai untuk melakukan apa namanya revitalisasi dari manufaktur. Yang ketiga adalah ya kita harus mengembangkan skill secara cepat, jadi SDM itu yang sedang coba-coba kita kembangkan itu bisa double edge sword. Kalau tanpa diimbangi dengan 2 hal ini, SDM yang sudah dikembangkan karena tidak ada kebutuhannya di dalam negeri, kemudian terjadi brain drain, ini yang harus dihindari.Indonesia itu mungkin tidak akan mendapatkan apa itu namanya keuntungan yang banyak dari relokasi industri.