JAKARTA. Euforia kemeriahan menyambut tahun baru usai sudah. Pesta pora pun segera berganti dengan kerisauan menghadapi berbagai kenaikan harga yang akan terjadi di awal tahun baru ini. Tahun 2013 pun tampak menakutkan bagi pelaku industri.Sejak akhir tahun lalu, para pelaku industri dalam negeri telah dihantui oleh bayang-bayang berbagai kenaikan biaya beruntun dan berlaku pada tahun ini. Setidaknya, ada tiga komponen biaya yang akan naik. Masing-masing adalah biaya Tarif Dasar Listrik (TDL), kenaikan harga gas tahap kedua, serta kenaikan upah minimum provinsi (UMP).Yang tak kalah menyodok para pebisnis adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sepanjang tahun lalu, kurs the greenback terhadap rupiah naik sekitar 10,25%.Rupiah yang loyo menjadi masalah yang relevan bagi pebisnis karena tingginya ketergantungan produk lokal terhadap bahan baku impor. Fenomena ini tampak jelas jika kita menyimak data Kementerian Perindustrian. Selama periode Januari-Oktober 2012, impor produk untuk kepentingan industri mencapai US$ 116,5 miliar, naik 13% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.Kenaikan impor tertinggi terjadi untuk produk berbahan baja, mesin dan otomotif yang mencapai US$ 52,4 miliar. Angka itu naik 24% year-on-year. Sedangkan impor pupuk di periode itu senilai US$ 2,58 miliar, atau meningkat 18% per tahun. Selain listrik, upah dan rupiah, ada pemicu kenaikan harga yang hanya terjadi di sektor tertentu saja. Ambil contoh produk makanan berbahan daging sapi yang harus menyaksikan harga bahan bakunya naik karena pasokan seret. Atau, produsen rokok yang terkena aturan kenaikan tarif cukai. Tak ada pilihan Aneka biaya di sektor hulu yang naik itu ibarat bola salju yang menggelinding bagi berbagai produk di sektor hilir. Pengusaha di sektor hilir yang menghadapi enaikan biaya yang bertubi-tubi, tentu tidak mau menanggung rugi sendiri.Mereka yang sudah menaikkan harga seperti pabrikan tekstil dan makanan-minuman. Kedua industri itu memang terkena kenaikan biaya yang beruntun. Kebanyakan pabrikan makanan dan pakaian merupakan industri yang membutuhkan banyak pekerja. Jadi, peningkatan upah minimum jelas menambah biaya produksi.Bagi industri tekstil, peningkatan tarif listrik juga menambah biaya. Sedangkan tambahan biaya produksi yang harus dipikul industri makanan datang dari kenaikan harga bahan baku. Memang, ada risiko yang membayangi kenaikan harga tersebut. Para pebisnis tekstil sudah menghadapi penurunan penjualan, setelah mengerek harga jualnya.Sejatinya, ancaman itu tidak cuma membayangi perusahaan saja, melainkan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahjana, mengatakan, konsekuensi dari kenaikan harga jual adalah daya saing produk dalam negeri terhadap produk impor yang serupa semakin lemah.Namun sejauh ini pemerintah belum menyiapkan strategi khusus menghadapi berbagai kenaikan harga itu. Padahal, kenaikan harga jelas akan menggerus daya beli. Lantas, di mana peran Pemerintah yang seharusnya menyejahterakan rakyatnya?
Tahun baru, harga baru
JAKARTA. Euforia kemeriahan menyambut tahun baru usai sudah. Pesta pora pun segera berganti dengan kerisauan menghadapi berbagai kenaikan harga yang akan terjadi di awal tahun baru ini. Tahun 2013 pun tampak menakutkan bagi pelaku industri.Sejak akhir tahun lalu, para pelaku industri dalam negeri telah dihantui oleh bayang-bayang berbagai kenaikan biaya beruntun dan berlaku pada tahun ini. Setidaknya, ada tiga komponen biaya yang akan naik. Masing-masing adalah biaya Tarif Dasar Listrik (TDL), kenaikan harga gas tahap kedua, serta kenaikan upah minimum provinsi (UMP).Yang tak kalah menyodok para pebisnis adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sepanjang tahun lalu, kurs the greenback terhadap rupiah naik sekitar 10,25%.Rupiah yang loyo menjadi masalah yang relevan bagi pebisnis karena tingginya ketergantungan produk lokal terhadap bahan baku impor. Fenomena ini tampak jelas jika kita menyimak data Kementerian Perindustrian. Selama periode Januari-Oktober 2012, impor produk untuk kepentingan industri mencapai US$ 116,5 miliar, naik 13% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.Kenaikan impor tertinggi terjadi untuk produk berbahan baja, mesin dan otomotif yang mencapai US$ 52,4 miliar. Angka itu naik 24% year-on-year. Sedangkan impor pupuk di periode itu senilai US$ 2,58 miliar, atau meningkat 18% per tahun. Selain listrik, upah dan rupiah, ada pemicu kenaikan harga yang hanya terjadi di sektor tertentu saja. Ambil contoh produk makanan berbahan daging sapi yang harus menyaksikan harga bahan bakunya naik karena pasokan seret. Atau, produsen rokok yang terkena aturan kenaikan tarif cukai. Tak ada pilihan Aneka biaya di sektor hulu yang naik itu ibarat bola salju yang menggelinding bagi berbagai produk di sektor hilir. Pengusaha di sektor hilir yang menghadapi enaikan biaya yang bertubi-tubi, tentu tidak mau menanggung rugi sendiri.Mereka yang sudah menaikkan harga seperti pabrikan tekstil dan makanan-minuman. Kedua industri itu memang terkena kenaikan biaya yang beruntun. Kebanyakan pabrikan makanan dan pakaian merupakan industri yang membutuhkan banyak pekerja. Jadi, peningkatan upah minimum jelas menambah biaya produksi.Bagi industri tekstil, peningkatan tarif listrik juga menambah biaya. Sedangkan tambahan biaya produksi yang harus dipikul industri makanan datang dari kenaikan harga bahan baku. Memang, ada risiko yang membayangi kenaikan harga tersebut. Para pebisnis tekstil sudah menghadapi penurunan penjualan, setelah mengerek harga jualnya.Sejatinya, ancaman itu tidak cuma membayangi perusahaan saja, melainkan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahjana, mengatakan, konsekuensi dari kenaikan harga jual adalah daya saing produk dalam negeri terhadap produk impor yang serupa semakin lemah.Namun sejauh ini pemerintah belum menyiapkan strategi khusus menghadapi berbagai kenaikan harga itu. Padahal, kenaikan harga jelas akan menggerus daya beli. Lantas, di mana peran Pemerintah yang seharusnya menyejahterakan rakyatnya?