Tahun berat bagi Japfa Comfeed



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk mengaku telah mencapai target pertumbuhan pendapatan tahun 2017 sebesar 10%. Walau target tercapai, Japfa mengakui tahun 2017 bukan tahun yang mudah bagi industri pakan ternak dan perunggasan dalam negeri.

Hal itu terjadi karena adanya larangan impor jagung yang menjadi bahan baku pakan ternak. “Target bisnis dari sisi pertumbuhan, Japfa sudah memenuhi target sepanjang tahun ini,” ujar Direktur Corporate Affairs Japfa Rachmat Indrajaya kepada Kontan.co.id, Senin (1/1).

Sekadar informasi, pada awal 2017, emiten dengan kode saham JPFA ini menargetkan pendapatan perusahaan tumbuh 10% dari total pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 27,06 triliun. Itu berarti target pendapatan Japfa tahun lalu sebesar Rp 29,8 triliun. Pada tahun 2016, sektor perunggasan menyumbang sekitar 86% dari total pendapatan perusahaan.


Tanpa mengatakan pendapatan total 2017, pada kuartal III-2017, Japfa telah memperlihatkan kenaikan pendapatan dibandingkan tahun 2016. Laporan keuangan perusahaan menunjukkan, penjualan Japfa periode Januari- September 2017 sebesar Rp 21,69 triliun. 

Angka ini naik dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Periode sembilan bulan tahun 2016, JPFA mencatatkan pendapatan sebesar Rp 20,6 triliun.

Walau pendapatan naik, laba Japfa turun akibat beban penjualan yang bertambah. Beban penjualan perusahaan ini pada periode Januari hingga Oktober 2017 sebesar Rp 17,86 triliun, naik dibandingkan periode sama tahun 2016 yang sebesar Rp 16,2 triliun.

Rachmat bilang, kondisi sektor bisnis perunggasan tahun 2017 memang tak berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya, yakni masih mengalami pasang surut. Bahkan tahun 2017 dianggap menjadi tahun cobaan berat bagi industri perunggasan seperti Japfa. Sebab di 2017 untuk pertama kalinya larangan impor jagung diberlakukan. 

Hal itu menyulitkan perusahaan memperoleh bahan baku pakan ternak. "Harga pakan ternak tahun 2017 cukup tinggi, larangan impor jagung membuat harga jagung melonjak," ujarnya.

Kenaikan harga pakan ternak membuat beban produksi perusahaan naik, sebab kontribusi pakan ternak dalam produksi peternakan unggas mencapai 70%. 

Tantangan berat

Untuk tetap tumbuh, maka pada tahun 2018, Japfa akan terus berusaha mengembangkan bisnis perunggasan terutama produk akhir. Contohnya produk ayam potong siap masak serta produk siap saji.

Strategi itu dilakukan karena pada 2018, bakal banyak tantangan yang dihadapi oleh Japfa dan industri unggas lainnya. Selain larangan impor jagung sehingga harga jagung bakal tetap tinggi, ancaman lainnya adalah potensi masuknya unggas impor. 

Hal ini akibat keputusan Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang memenangkan Brasil atas pembatasan impor daging ayam Indonesia. “Kami berharap pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dapat menjadi benteng bagi perkembangan perunggasan Tanah Air,” terang Rachmat. Pemerintah dan MUI bisa menjadi tameng karena sertifikasi halal masih menjadi syarat yang perlu dipenuhi importir unggas. 

Proyeksi makin beratnya industri perunggasan juga diungkapkan Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Anton Supit. Selain harga pakan yang mahal, putusan WTO berpeluang menyebabkan pasar dalam negeri kebanjiran daging unggas impor. "Potensi masuknya daging ayam dari luar Indonesia semakin besar," ujarnya. Menurutnya mahalnya bahan baku membuat daya saing produk unggas RI kalah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati