JAKARTA. Pasar ekspor ikan hias masih tetap cantik. Kendati permintaan dari Amerika Serikat dan Eropa turun akibat krisis, pasar ikan hias di Timur Tengah tetap meningkat. Kenaikan permintaan ikan hias di Timur Tengah itu bisa menutup penurunan pasar di Amerika Serikat dan Eropa, sehingga ekspor ikan hias dari Indonesia masih tetap melejit. Ketua Dewan Ikan Hias Indonesia (DIHI), Suseno, memperkirakan, nilai ekspor ikan hias nasional akan meningkat hingga 20% dibandingkan dengan tahun lalu. Peningkatan tersebut tidak lain karena banyak eksportir yang melakukan diversifikasi pasar, yaitu ke negara-negara di Timur Tengah, selain ke beberapa negara di kawasan Asia. "Dengan membuka pasar ekspor selain ke Eropa dan Amerika, maka, saya optimistis penjualan akan naik," kata Suseno, kemarin. Menurut data DIHI, total nilai ekspor ikan hias pada tahun 2011 mencapai US$ 16 juta. Dengan perkiraan tahun ini naik 20%, nilai ekspor ikan hias dari Indonesia pada tahun ini akan mencapai sekitar US$ 19,2 juta.
PT Harlequin Aquatics adalah salah satu perusahaan yang telah mengekspor ikan hias ke negara petro dolar di Timur Tengah. Hendra Iwan Putra, Direktur PT Harlequin Aquatics, mengakui bahwa permintaan ikan hias di Timur Tengah cukup besar. Saat ini, dalam satu bulan, PT Harlequin Aquatics setidaknya bisa mengekspor sekitar 12 ton ikan hias ke negara-negara di Timur Tengah. Peningkatan ekspor ke Timur Tengah ini penawar suramnya pasar ikan hias di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut Hendra, saat ini Harlequin setiap bulan hanya mengekspor sekitar 500 kilogram (kg) ikan hias ke Eropa. Padahal sebelum terjadi krisis, permintaan ikan hias dari kawasan tersebut mencapai rata-rata satu ton untuk setiap bulannya. "Maka banyak eksportir ikan hias yang mulai membuka jalur ke Timur Tengah," kata Hendra. Selain ke Timur Tengah, permintaan ikan hias yang juga tumbuh bagus antara lain dari Brazil, meskipun relatif masih kecil. Jenis ikan yang diminati di kawasan pasar baru tersebut cukup beragam, mulai dari jenis budidaya air tawar hingga tangkapan laut, seperti neon tetra, botia, arowana silver, komet dan seterusnya. Lain Brazil lain Timur Tengah. Menurut Hendra, beberapa jenis ikan yang menjadi idola di pasar Timur Tengah terutama komet, botia dan jenis tetra. Untuk pasar Eropa, selama ini, jenis yang paling populer adalah ikan tetra. Ini berbeda dengan pasar di Asia yang banyak meminati ikan arowana. Selain jenisnya, ukuran ikan yang banyak diminta oleh konsumen di Eropa dan Timur Tengah adalah ikan-ikan yang relatif kecil. Pasar di kedua kawasan ini umumnya lebih menyukai ikan hias yang panjangnya maksimal 5 cm. Harlequin menetapkan harga jual beragam, tergantung jenis ikan dan ukurannya. Untuk jenis botia berukuran 5 cm, misalnya, Harlequin membanderol harga US$ 0,7 per ekor, sementara jenis tetra berukuran 2,2 cm dihargai sekitar US$ 0,07-US$ 0,12 per ekor. Harlequin menetapkan harga arowana ukuran 15 cm sekitar US$ 7 per ekor. Selain tertolong kenaikan permintaan dari Timur Tengah, pasar ikan hias di Asia tetap menjadi lahan basah bagi eksportir. Menurut Suseno, negara-negara Asia yang menjadi pasar potensial ekspor ikan hias Indonesia adalah Singapura, China, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. "Negara Asia lebih menyukai ikan air tawar, Eropa menyukai ikan air laut," kata Suseno. Terhambat regulasi Namun, di tengah prospek pasar ekspor ikan hias yang cukup besar, para eksportir merasa terganggu beberapa kebijakan yang bisa menghambat ekspor hias. Hendra menyebut dua aturan, yaitu penerapan agen inspeksi barang
regulated agent (RA) di Bandara Soekarno Hatta, dan pemberlakuan nomor induk kepabeanan (NIK) yang mulai berlaku awal tahun ini. Hendra menilai, kedua aturan itu menambah biaya ekspor. Dia mencontohkan, sejak penerapan RA itu, ia harus membayar Rp 450 per kg untuk ekspor ikan hias. Padahal sebelumnya hanya Rp 60 per kg. Hendra menghitung, sekali mengirimkan ikan hias ke luar negeri membutuhkan US$ 3.000-US$ 5.000 per ton. Padahal dalam sebulan, Harlequin mengirimkan ikan hias ke luar negeri sekitar 12 kali. Artinya, Harlequin harus menyiapkan US$ 36.000-US$ 60.000 per bulan untuk mengirimkan ikan hias.
Menyiasati lonjakan biaya ini, Hendra membebankan biaya RA tersebut kepada para pembelinya di luar negeri, agar margin laba tak tergerus. Tentu saja, risiko kenaikan biaya tersebut adalah menurunkan daya saing ikan hias dari Indonesia dibandingkan ikan hias dari negara lain. Problem lain berkaitan dengan aturan kepemilikan NIK. Hendra memang mengaku tidak mengalami masalah karena sudah memiliki NIK. Persoalannya, banyak eksportir yang tahun ini belum bisa mengekspor karena belum tahu ada wajib memiliki NIK bagi eksportir, sehingga mereka tak memilikinya. Suseno berharap pemerintah menyosialisasikan aturan-aturan tersebut. Dus, problem-problem para eksportir bisa segera diatasi. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: