JAKARTA. Pasar ekspor masih menjadi penopang pertumbuhan industri sepatu. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) memprediksi, pasar ekspor akan tumbuh sebesar 5% sedangkan untuk pasar domestik akan stagnan. Tahun lalu, realisasi ekspor sepatu mencapai US$ 3,9 miliar. Dengan demikian, tahun ini, ekspor sepatu diharapkan bisa mencapai US$ 4,1 miliar. Asal tahu saja, Indonesia masih merupakan negara pengekspor sepatu terbesar ketiga setelah China dan Vietnam. Di dalam negeri, penjualan sepatu pada tahun lalu bisa mencapai Rp 30 triliun atau naik dibandingkan 2012. Pada 2012, penjualan sepatu mencapai Rp 25 triliun. "Tahun ini tidak ada pertumbuhan," ujar Eddy Widjanarko, Ketua Umum Aprisindo kepada KONTAN, Rabu (29/1).
Meski meramalkan ada pertumbuhan, Eddy bilang, peningkatan ekspor baru bisa didapatkan jika pemerintah menyetujui relokasi pabrik sepatu ke luar Jakarta. Seperti diketahui, para pengusaha industri sepatu tak tahan dengan kenaikan upah buruh di wilayah Jabodetabek. Sebanyak 135 perusahaan sepatu yang beroperasi di kawasan industri di Tangerang, Banten, dan Bekasi, tahun ini sedang mempersiapkan diri untuk relokasi usaha ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Eddy, bila dibandingkan dengan menutup pabrik di Indonesia dan memindahkan pusat produksi ke negara lain seperti Vietnam, pilihan lebih baik adalah berpindah ke luar Jakarta, seperti Jawa Tengah atau daerah lain yang upah minimun regionalnya lebih rendah. Tahun lalu, setidaknya ada 11 pabrik memutuskan untuk menutup fasilitas produksinya dan hengkang dari Indonesia lantaran tak sanggup menanggung beban. "Kami berharap tahun ini tidak tutup lagi, lebih baik relokasi ke daerah lain," kata Eddy. Selain persoalan upah buruh, industri sepatu masih harus dibebani dengan banjir. Pasalnya, banjir menganggu produksi dan distribusi barang. Hal lainnya yang juga memberatkan industri sepatu adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan upah buruh dan TDL, kata Eddy tak bisa diimbangi dengan kenaikan produktivitas dan bisa memicu kenaikan harga bahan baku. Ditambah dengan kenaikan biaya distribusi, dipastikan biaya produksi sepatu akan naik. Tak ada investasi baru Apalagi, dengan pelemahan nilai rupiah terhadap dollar AS, mau tak mau, produsen sepatu berpotensi untuk menaikkan harga di tahun ini. Tahun lalu, produsen sepatu mengerek harga sepatu rata-rata 7%. "Tahun ini, belum ada kenaikan, tapi kita lihat kondisi rupiah," kata Eddy. Banyaknya persoalan yang dihadapi oleh industri sepatu, Eddy bilang, tahun ini belum ada investasi baru. Bahkan, ia lebih mengkhawatirkan, banyak industri sepatu akan gulung tikar. Sebab, tahun lalu, investasi alas kaki menurun dibandingkan tahun 2012.
Sebagai gambaran, Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, pada semester I-2013, investasi penanaman modal asing (PMA) di industri alas kaki dan penyamakan kulit mencapai US$ 29,2 juta. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, investasi PMA sektor ini mencapai US$ 123,2 juta. Artinya, investasi asing di sektor ini pada semester I-2013 anjlok 76,3% ketimbang semester I-2012. Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, sektor padat karya seperti sepatu dan alas kaki sepi dari investasi. Investasi yang masuk hanya di sektor padat modal. Banyak investor yang takut berinvestasi di dalam negeri lantaran banyak faktor. Selain kenaikan TDL dan upah, harga gas dan iklim investasi yang tidak kondusif membuat investor tak melirik Indonesia. "Bukan hanya sulit masuk, tapi banyak perusahaan yang pergi dan tidak mau bertahan lagi," kata Sofjan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Fitri Arifenie