KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Daya tarik saham emiten BUMN dan anak usahanya meredup di sepanjang tahun ini. Lihat saja, sejak awal tahun hingga Kamis (30/11) lalu atau
year-to-date (ytd), harga saham emiten BUMN dan anak usahanya mencatatkan penurunan rata-rata sebesar 6% Dari 26 emiten BUMN dan anak usahanya, saham PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) menjadi top gainer dengan kenaikan 83,91% (ytd). Posisi kedua hingga keempat berturut-turut diduduki saham PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dengan pertumbuhan masing-masing 47,57%, 46,61% dan 37,47%. Adapun saham yang paling terpuruk adalah PT Indofarma Tbk (INAF), PT PP Properti Tbk (PPRO), PT Krakatau Steel (KRAS) Tbk dan PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) Tbk. Keempat saham itu merosot masing-masing sebesar 45,94%, 42,35%, 41,04% dan 37,04%.
Kepala Riset OSO Sekuritas Riska Afriani menilai, sejak awal tahun saham BUMN sektor perbankan mencuri perhatian pasar. Hal ini kemudian tergambar dari kenaikan harga saham yang terbilang tinggi hingga akhir November 2017. Tak hanya capital gain, emiten perbankan juga menyumbangkan dividend payout ratio cukup tinggi di 2016. “Kinerja emiten perbankan tahun ini bagus. Laba mereka tinggi dan pembagian dividen juga tinggi. Otomatis perbankan banyak diminati investor dan manajer investasi,” ujar Riska, Kamis (30/11) lalu. Apalagi bank BUMN juga terbantu pembiayaan infrastruktur pemerintah. Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee merinci, ada beberapa faktor yang mendorong saham perbankan menjadi primadona di jajaran emiten BUMN. Pertama, Bank Indonesia menurunkan suku bung acuan tahun ini. Kedua, terjadi perbaikan
non performing loan (NPL) dan pencadangan bank berkurang. “Ketiga, kita lihat ekspansi kredit masih sekitar 8%, tapi bank mampu mempertahankan
net interest margin (NIM). Didukung oleh BOPO yang turun, berarti bank melakukan efisiensi,” lanjut Hans. Meski demikian, menurut Riska, dividen yang tinggi tak menjamin kenaikan harga saham. Pada emiten BUMN konstruksi contohnya. Meski memberi dividend payout ratio cukup besar, harga saham emiten ini menyusut. Hans melihat, tahun ini sektor konstruksi masih terkendala
cashflow. Meski perolehan proyek konstruksi terbilang bagus, pembayarannya agak lambat. Hal inilah yang menyebabkan kinerja emiten konstruksi tertahan. Saham jeblok Soal saham BUMN yang merosot, Riska menilai, penurunan harga saham-saham emiten tersebut sejalan dengan kinerjanya. Jika dilihat, INAF dan KRAS masih mencatatkan rapor merah, hanya PGAS yang mampu membagikan dividen di 2016. Hans menilai, saham PGAS tertekan karena isu pemangkasan harga gas. Selain itu, ketatnya persaingan turut memberatkan saham ini. “Pembentukan holding nanti harusnya bagus untuk PGAS, karena pemain di sektor gas bisa membagi pasar dan tumbuh bersama,” ujar dia.
Ke depan, masih banyak peluang yang bisa dimanfaatkan emiten BUMN. Selain pertumbuhan ekonomi yang diprediksi membaik, emiten BUMN akan semakin menarik dengan adanya holding. Pasca holding, emiten bisa meminimalkan persaingan. Aset yang besar dalam payung holding juga memberi fleksibilitas pinjaman demi ekspansi. Meski demikian, Riska menilai, beberapa kebijakan pemerintah masih menjadi tantangan bagi emiten BUMN. Pasalnya, setiap kebijakan yang dikeluarkan akan direspons dengan cepat oleh pelaku pasar. Selain itu, tahun depan masih ada kemungkinan capital outflow yang lebih tinggi. Ini terkait rencana The Federal Reserve kembali menaikkan suku bunga. Pada 2018, Riska dan Hans sepakat emiten BUMN perbankan masih menarik. Di sektor lain, Hans menyebut pertambangan, terutama batubara akan membaik. “Valuasi emiten tambang murah dan harga komoditas masih cukup tinggi. Ada potensi kenaikan di situ,” tutur Hans. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati