Jakarta. Perlambatan yang terjadi di bisnis properti, terutama sektor komersial pada semester I–2014 sepertinya akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Bahkan, perlambatan pertumbuhan juga berpotensi terjadi hingga tahun depan. Di paruh pertama tahun ini, perlambatan di sektor properti, termasuk properti komersial, terjadi karena bauran berbagai faktor. Dari sisi politik, hajatan pemilihan umum (pemilu) membuat sebagian pengembang dan investor properti menahan diri. Belum lagi, faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat dengan infl asi yang cenderung naik. Kebijakan Bank Indonesia yang menerapkan aturan tentang loan-to-value ratio (LTV) serta kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) juga berpengaruh terhadap penjualan properti.
Alhasil, menurut pengamatan Associate Director Knight Frank Indonesia Hasan Pamu-dji, cukup banyak pengembang, investor ritel, pembeli, dan penyewa properti yang menunda ekspansi dan pembelian properti sampai penetapan hasil pemilu. Dari sisi harga jual dan tarif sewa, meski ada kecenderungan turun sebetulnya relatif masih terjaga. Pasalnya, pengembang masih menahan harga jual dan sewanya. Harapannya, setelah pemilu, pertumbuhan industri properti kembali berlanjut. Hasil survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan, selama kuartal II–2014, pasokan properti terutama untuk properti komersial memang stagnan dengan kecenderungan menurun. Seiring dengan hal itu, pertumbuhan harga jual dan tarif sewa juga mengalami tekanan. Pasokan perkantoran hak milik (strata title) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek), misalnya, selama triwulan II–2014 hanya tumbuh 4,97%, dibanding triwulan I–2014 yang tumbuh 8,67%. Di periode yang sama, pertumbuhan harga jual juga melambat, dari yang tadinya bisa naik 21,07% menjadi hanya 18,73%. Sementara, pasokan pusat perbelanjaan di Jabodebek dan Bandung juga tidak bertambah, tetap 5,95 juta meter persegi (m²). Sejalan dengan hal itu, kenaikan harga jualnya juga melambat, cuma tumbuh 19,18% di kuartal II-2014. Jauh lebih rendah ketimbang triwulan I-2014 yang cuma naik 25,53%. Banyak tantangan Ke depan, laju sektor properti juga belum mulus-mulus amat. Chief Executive Officer Leads Property Hendra Hartono menyebut, sebagian pengembang dan investor masih melihat berbagai faktor, seperti wajah kabinet pemerintahan baru, bagaimana kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dan stabilitas suku bunga. Sikap wait and see ini, lanjut Hendra, akan berlanjut hingga pengujung 2014. “Properti akan mulai take off tahun 2015 di kuartal II,” kata Hendra. Kenaikan harga BBM bersubsidi, yang diyakini akan terjadi sebelum 2014 berakhir atau paling lambat awal 2015, bakal mengerek laju infl asi. Dampaknya, BI bisa saja menaikkan BI rate. Nah, biasanya, jika BI rate naik, cepat atau lambat suku bunga KPR juga ikut terdongkrak. Masalahnya, dampak suku bunga terhadap penjualan properti memang cukup lumayan. Pasalnya, sebagian besar penjualan properti di Indonesia memang dilakukan secara kredit. Hasil kajian Indonesia Property Watch (IPW) memperlihatkan, setiap kenaikan 1% suku bunga KPR akan menurunkan 4%-5% penjualan properti. Meski begitu, para pengembang sepertinya masih tetap optimistis. Mereka yang tadinya banyak menahan diri menunggu hasil pemilu, kini, mulai berlomba-lomba menawarkan proyek-proyeknya. Mereka berharap besar, BI dan para bankir akan mempertahankan tingkat bunga di level sekarang meskipun pemerintah jadi menaikkan harga BBM bersubsidi dan infl asi melejit. “Bunga di level sekarang kayaknya sudah mentok. Malah Bank BCA bunganya sekarang diturunkan,” ujar Direktur Pengembangan Bisnis PT Pakuwon Jati Tbk Ivy Wong. Harga kemahalan Faktor lainnya, dalam dua tahun sampai tiga tahun terakhir, harga properti memang sudah naik terlalu tinggi. Catatan pengamat properti Ali Tranghanda, dalam periode tersebut, sektor properti tumbuh 50% hingga 60%. Indikasinya terlihat dari agresivitas pengembang dalam membangun berbagai jenis properti, mulai dari residensial, komersial, ritel, hingga kawasan industri. Meski di tangan Joko Widodo- Jusuf Kalla, harapan sektor properti bakal tumbuh bagus cukup tinggi, tetap saja dibutuhkan waktu untuk pendinginan dan mencapai titik keseimbangan baru. Proses ini, ujar Ali, akan berlangsung hingga tahun 2015. Dus, ia memperkirakan, pertumbuhan sektor properti di 2014-2015 hanya ada di kisaran 10%. “Tahun 2016 baru akan naik. Lalu tiga tahun empat tahun setelah itu baru akan mencapai puncaknya lagi,” ujar Ali. Untungnya, menurut Hasan, pemodal dalam dan luar negeri masih yakin dengan prospek ekonomi Indonesia di tangan pemerintahan baru. Dus, aktivitas penanaman modal akan terus berlanjut dan mendorong kebutuhan pabrik baru dan kantor cabang baru. Ini bakal merembet ke permintaan properti residensial dan properti ritel.
Buat investor maupun calon investor properti ritel, kondisi seperti ini juga tidak perlu mereka risaukan. Sebab, sejatinya properti adalah instrumen investasi jangka panjang. Seiring dengan potensi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kebutuhan, prospek investasi properti juga bakal kembali mencorong. “Perlambatan itu, kan, artinya masih tetap tumbuh, tapi tidak setinggi sebelumnya. Jadi, jangan karena dulu pernah merasakan gain 50%–60%, kalau gain-nya sudah tidak setinggi itu malah panik,” kata Ali mengingatkan. Jadi, jangan panik karena serakah. Tetap kalem saja, ya! ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 50 - XVIII, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander