KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membidik lifting minyak pada 2024 mendekati 600 ribu barrel oil per day (BOPD). Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan, pada tahun ini target lifting minyak dalam APBN sebanyak 635 BOPD, sementara target lifting minyak dalam Work Program and Budget (WP&B) yang disetujui oleh para kontraktor yaitu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar 596 BOPD. "Kami di minyak terjadi penurunan 1% nanti, kami juga laporkan ini penurunan terendah di satu tahun dibandingkan tahun sebelumnya, target 2024 635 ribu di APBN dan 596 ribu di WPNB," kata Dwi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (13/3).
Baca Juga: Survei Amdal Rampung, Blok Masela Siap Dikebut Dwi menuturkan, SKK Migas akan berupaya mencapai produksi lifting minyak pada 2024 supaya tidak kurang dari 600 ribu BOPD di tengah tantangan pada awal tahun mengadapi bencana alam banjir. "Meski di awal tahun kita dihadapkan bencana alam banjir yang menimpa begitu banyak sumur-sumur KKKS, khususnya di Rokan dan Sumatera Selatan," ujar Dwi. Pada 2023, SKK Migas mencatat realisasi lifting minyak sebesar 605,5 ribu BOPD. Jumlah tersebut turun dari realisasi 2022 sebesar 612,3 ribu BOPD dan juga masih di bawah target APBN 2023 sebesar 660 ribu BOPD dan
work program
and budget (WP&B) 621 ribu BOPD. Dwi membeberkan sejumlah kendala yang dihadapi oleh SKK Migas, antara lain kondisi cuaca yang ekstrem,
safety stand down yang terjadi di seluruh wilayah Pertamina selama empat bulan yang mengakibatkan berkurangnya produksi sekitar 3.000 BOPD, pengeboran yang tidak mencapai target, ketersediaan rig, finansial, minimnya integasi infrastruktur gas,hingga tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi. "Kita menghadapi
problementry rate yang berkurang 5.400 barel per hari, ada proyek-proyek yang delay menyebabkan berkurangnya 6.100 barel, dan beberapa peralatan yang
stop planned maupun
unplanned berkurang 7,4 ribu," tutup Dwi. Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, masalah utama target produksi minyak yang tidak tercapai lantaran lapangan
eksisting sudah berumur tua secara pola atau tren berada pada kondisi yang terus turun. "Fosil kan memang sudah menjadi hukum alam pasti kemampuan produksinya akan turun," kata Komaidi kepada KONTAN, Rabu (13/3). Biasanya, kata Komaidi, untuk mengkompensasi hal itu harus dilakukan penemuan baru atau mengganti lapangan atau sumur-sumur yang baru yang sudah turun produksinya, seperti yang dilakukan negara-negara lain. Ia menuturkan, untuk menemukan cadangan baru harus dilakukan kegiatan eksplorasi, tanpa adanya kegiatan eksplorasi kemungkinan kecil sekali untuk bisa menemukan cadangan. "Ibarat di pertanian, eksplorasi ini seumpamanya menanam, kalau tidak menanam ya tidak akan pernah panen," tutur Komaidi.
Baca Juga: Siasat Hulu Migas Dongkrak Produksi Blok Cepu Menurut Komaidi, masalah utamanya saat ini adalah sistem pengusaha migas di Indonesia memakai sistem kontrak, di mana ketika pada tahap eksplorasi ketika belum menemukan cadangan migas, 100% risikonya melekat pada KKKS. Selain itu, di tambah dengan kondisi geologi yang berbeda dengan masa lalu yang cadangannya lebih banyak di darat, saat ini cadangannya lebih banyak di laut dalam sehingga risiko masalahnya makin tinggi.
"Ini kombinasi masalah kenapa kegiatan eksplorasi tidak masif dan cadangan yang ditemukan juga tidak signifikan. Lebih besar penurunan produksinya daripada cadangan-cadangan baru," ujar Komaidi. Ia menambahkan, pelaku migas sebetulnya sudah memberikan masukan dan mengeluhkan ke pemerintah, namun belum dijalankan dengan baik. Menurutnya, pengusaha migas ini perlu kolaborasi. "Modalnya gede, teknologinya canggih. Harus berklobarasi baik di modal, teknologi, dan tenaga ahlinya," pungkas Komaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .