Tahun politik, pasar modal Indonesia masih positif​



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar investasi Indonesia tidak akan terpengaruh secara negatif di tengah tahun politik 2019 ini. Tekanan justru datang dari perekonomian global. 

Pengamat ekonomi M. Chatib Basri menilai justru melihat, ada isu lain yang lebih berpotensi untuk memengaruhi iklim investasi di Indonesia. Isu tersebut justru datang dari tingkat global alih-alih domestik.

Pertama, Chatib menggarisbawahi situasi ekonomi di Amerika Serikat (AS). Bank sentral AS Federal Reserve cenderung akan bersabar dalam menaikkan bunga. Chatib mengatakan, kenaikan suku bunga acuan AS tahun ini hanya akan satu kali sebesar 25 basis poin.


"Kondisi itu yang justru membuat rupiah berpotensi bergairah. Bahkan saya tidak akan kaget kalau nanti justru menguat," kata Chatib dalam acara Diskusi Ekonomi dan Politik 2019 yang diselenggarakan Kustodian Sentral Efek Indonesia, Kamis (14/3).

Tak hanya berpengaruh kepada kurs rupiah terhadap dollar, kondisi itu juga akan membuat arus modal masuk ke emerging market seperti Indonesia. Selain suku bunga The Fed, isu global lain yang bisa berpotensi memengaruhi investasi di Indonesia adalah perang dagang antara AS dengan China. Kondisi ini membuat China, yang merupakan salah satu pasar ekspor Indonesia, mengalami perlambatan ekonomi.

Kondisi ini memengaruhi beberapa komoditas ekspor Indonesia terutama minyak, batubara dan minyak sawit (CPO). "Sumber daya alam masih jadi sumber penerimaan besar bagi pemerintah. Sehingga saya tidak surprise kalau defisit masih naik meskipun tidak tinggi," kata Chatib.

Kondisi perekeonomian dan investasi yang cenderung stabil ini juga ditegaskan dari perspektif politik yang dipaparkan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. Dalam kesempatan yang sama, ia memaparkan beberapa faktor. Di antaranya mengenai kontestasi calon presiden di pemilu ini yang tidak seketat pemilihan umum sebelumnya.

"Beberapa survei merilis selisih elektabilitas antar capres sekitar 20%. Ini margin yang jauh lebih besar ketimbang tahun 2014 yang lebih ketat," jelas pria yang juga menjadi dosen di FISIP, UIN Syarif Hidayatullah itu.

Tak hanya itu, faktor fragmentasi politik di Indonesia dari pemilu ke pemilu cenderung semakin besar. Hal ini terbukti dengan belum adanya partai politik yang bisa memenangi pemilu berturut-turut. "Ini berarti pemilih di Indonesia masih labil," tandas Burhanuddin.

Ia juga menjelaskan transisi kekuasaan di Indonesia yang berjalan relatif stabil pasca pemilu, juga menjadi faktor lain yang membuat ekonomi relatif tidak terguncang. "Kecenderungan elite politik untuk bermain pragmatis dan transaksional membuat sharing power dalam politik relatif lebih tersebar sehingga menghindari kondisi-kondisi politik yang bersifat deadlock," terang Burhanuddin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati