Tak ada alasan bagi BI mengubah BI rate



JAKARTA. Risiko terjadi gejolak ekonomi di pasar global tampaknya akan menghalangi keinginan Bank Indonesia (BI) menciptakan rezim bunga murah. Ekonom memprediksi: rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis pekan ini akan memutuskan untuk mempertahankan bunga acuan di level 5,75%.

Padahal, dalam situasi ekonomi Indonesia yang tengah melambat, bunga rendah, baik bunga untuk kredit konsumsi, kredit modal kerja hingga kredit korporasi, dibutuhkan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi.

Namun, BI tampaknya masih perlu menjaga agar laju inflasi terkendali. Maklum, inflasi year on year April 2012 sudah cukup tinggi, yakni 4,5%. Padahal, BI mentargetkan bisa menjaga inflasi di kisaran 4,5%, ± sebesar 1%.


Ketidakpastian kebijakan bahan bakar minyak (BBM) mendorong perilaku atawa ekspektasi masyarakat atas harga barang naik. Walhasil, dengan berbagai pertimbangan itu, "BI rate tetap, tidak turun karena ekspektasi inflasi masih agak tinggi,"ujar pengamat ekonomi Mirza Adityaswara, kemarin.

Ketidakpastian kenaikan harga BBM serta adanya gejala awal overheating ekonomi menjadi pertimbangan BI untuk tidak menaikkan BI rate. "Apalagi, inflasi year on year masih di bawah 5,25%," tandas Mirza.

Ekonom BCA David Sumual menambahkan, peluang kenaikan harga BBM tampaknya masih terbuka. Undang-Undang APBN Perubahan 2012 pada pasal 7 ayat 6 A membolehkan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi jika ternyata harga minyak mentah sudah naik 15% dari asumsi awal. "Hal ini membuat ekspektasi inflasi masih cukup tinggi sehingga BI rate ditahan," kata dia.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti berpendapat, pertimbangan BI mempertahankan suku bunga BI rate karena situasi perekonomian global masih penuh ketidakpastian. "Ini menjadi salah satu pertimbangan BI untuk menahan BI rate," ungkapnya.

Di dalam negeri, Destry sepakat, ketidakpastian kebijakan BBM masih akan terus menimbulkan ekspektasi inflasi. Selain itu, nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini cenderung terdepresiasi akibat penguatan dollar Amerika Serikat. "Padahal, permintaan dollar AS dari domestik terutama dari importir masih tinggi," jelasnya.

Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang terus menurun menambah ketidakpastian. Walhasil, Purbaya juga yakin BI akan kembali menahan bunga acuannya.

Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan melihat, potensi kenaikan harga BBM pada bulan Juli masih terbuka. Ini bisa mengakibatkan inflasi melambung tinggi. Untuk mengerem inflasi, menurut Fauzi, BI tak perlu mengerek bunga acuan. Sebab, beberapa waktu lalu, BI menyatakan tengah melakukan kajian untuk mengetatkan likuiditas di pasar keuangan dengan menaikkan batas giro wajib minimum (GWM) perbankan. "GWM bisa jadi alternatif," terangnya.

Ekonom Indef Fadhil Hasan bilang, BI perlu menahan suku bunga acuan untuk memberikan sinyal ke pasar bahwa inflasi masih terkendali. Apalagi, BI juga ingin bunga rendah agar perbankan bisa mengucurkan kredit untuk memutar roda perekonomian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini