Tak ahli negosiasi, kesepakatan ACFTA tak perlu direnegosiasi



JAKARTA. Pengamat Ekonomi UGM Anggito Abimanyu menilai, pemerintah tak perlu melakukan negosiasi ulang dengan China terkait kesepakatan perdagangan bebas atau ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Pasalnya, kebijakan untuk melakukan renegosiasi dipandang akan lebih menyulitkan bagi Indonesia. Terlebih, Indonesia dinilai tak lihai dalam bernegosiasi. "Pejabat Indonesia tidak ahli negosiasi, jadi saya tidak yakin kita bisa renegosiasi. Negosiasi itu kan enggak mudah, harus dibuktikan dengan injury dan sebagainya, dan ini juga enggak bisa hanya negosiasi dengan China saja tapi dengan ASEAN juga," kata Anggito dalam diskusi ACFTA: Hantu atau Ketidakpastian Pemerintah, Selasa (26/4). Menurut Anggito, jika hanya fokus terhadap Indonesia-China maka akan sangat bias. Hal ini, katanya, tak jauh beda dengan perang dagang antara Indonesia-China. "China akan mengatakan 'Anda kan punya surplus dengan yang lain'. Itu sama juga dengan posisi kita total balance of trade positif sampai 2010 US$ 26 miliar, sementara defisit dengan China sekitar US$ 5,7 miliar," paparnya. Jadi, katanya, tidak relevan jika hanya membahas perdagangan hanya melihat bilateral. "Jadi sulit sekali untuk mengatakan kalau kita menderita karena China, karena enggak ada buktinya, karena kita terbukti surplus besar dengan yang lain meski dengan China kita kebetulan negatif. Jadi balance of trade itu perlu dilihat dalam konteks multilateral," tegasnya. Yang diperlukan saat ini, tambahnya, adalah intervensi pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang sebenarnya timbul juga dari dalam negeri. "Bagaimana yang rugi-rugi ini bisa diminimalkan ruginya, yang laba itu bisa membantu yang rugi," imbuhnya. Sementara itu, Wakil Sekretaris umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani menuturkan, untuk mengatasi permasalahan terkait perdagangan dengan China alangkah lebih baik dengan pembenahan dalam negeri guna meningkatkan daya saing. Ia mengatakan, ada beberapa hal yang perlu ditinjau dan dibenahi kembali oleh pemerintah. Pertama, terkait suku bunga kredit yang dinilai cukup tinggi bila dibandingkan negara-negara lainnya. "Kalau di negara lain seperti Malaysia dan Thailand itu satu digit sekitar 5-6%, sementara di Indonesia bunga itu dua digit, di atas 12%. Ini kan cukup memberatkan," terangnya. Kedua, terkait kebijakan energi. "Karena alokasi gas ini penting sekali. Sekarang masalahnya 326 pabrik yang membutuhkan pasokan, kalau ini bisa dipenuhi gasnya kapasitas mereka bisa naik dua kali lipat bahkan lebih. Ini kita melihat belum ada suatu keberanian kebijakan untuk energi yang berpihak terhadap industri dalam negeri," ucapnya. Ketiga, mengenai kebijakan tarif dan perpajakan. "Yang menjadi hambatan kita adalah PMK 241. Meskipun tanggal 18 April sudah dilakukan revisi, tapi kalau kita lihat kemunculan PMK itu hampir di semua sektor industri itu justru meningkatkan bea masuk untuk produk bahan baku dan barang modal," katanya. Keempat, terkait infrastruktur. "Kalau lihat pembangunan di China itu 4,5 juta kilo meter (km), di Indonesia baru 440.000 km. Pemerintah China sangat sarat terhadap pembangunan infrastruktur, jadi biaya logistiknya murah. Sementara di Indonesia mengurus pelabuhan Merak saja sudah naik turun, kadang seminggu, 10 hari. Jadi banyak faktor di dalam negeri yang membuat daya saing kita semakin lemah," tegasnya. Menurutnya, sebenarnya upaya pemerintah dalam mengatasi perdagangan Indonesia-China sudah banyak dilakukan. Namun, upaya-upaya tersebut tidak optimal terutama di dalam komunikasi, di mana kalau menyangkut kekalahan atau tidak diuntungkan di Indonesia pasti akan timbul keributan yang luar biasa, sementara jika diuntungkan akan diam-diam saja. "Yang utama dikerjakan itu peningkatan daya saing, perlindungan pasar dalam negeri, dan peningkatan ekspor," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.