Tak Cuma China, Eropa Juga Turut Investasi Tambang dan Smelter Nikel di Indonesia



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Eropa sebagai negara yang terkenal dengan komitmennya pada aspek berkelanjutan masih ikut andil membiayai aktivitas pertambangan nikel, termasuk pembiayaan pada PLTU batubara captive. 

Sustainable Development Policy Research and Program Assistant di The Prakarsa, Ricko Nurmansyah menjelaskan, sebagian besar aliran keuangan yang terjadi pada industri nikel bersifat pinjaman, obligasi, dan ekuitas. 

Perinciannya pinjaman 66,5%, obligasi 5,4%, dan ekuitas 28,1%. Adapun pembiayaan di industri nikel ini mencakup tambang, smelter, hingga pembangkit listrik captive tenaga batubara. 


Baca Juga: Investasi Smelter Nikel Belum Mampu Dongkrak Pengentasan Kemiskinan dan Pengangguran

Berdasarkan hasil penelusuran aliran keuangan pembiayaan dan investasi pada sektor hulu nikel didominasi modal asal Tiongkok yang banyak diinvestasikan di Pulau Sulawesi dan Halmahera (Maluku Utara). 

Meski begitu, lembaga keuangan asal Eropa juga turut andil membiayai proyek-proyek ini. 

“Kami juga petakan institusi keuangan dari Eropa yang berkontribusi dalam pembiayaan proyek nikel di Indonesia, yakni HSBC, Santander, ING Bank, dan lainnya,” ujarnya dalam paparan hasil riset yang disaksikan virtual, Selasa (9/1). 

Sejauh ini menurut data yang dihimpunnya, paling besar pembiayaan ke proyek nikel disalurkan oleh HSBC senilai US$ 1,09 miliar berupa pinjaman sindikasi untuk pembangunan smelter, kawasan industri baterai. 

Lebih jelasnya, pinjaman tersebut diberikan untuk  pembangunan pabrik baterai di Karawang, Jawa Barat. Mengakuisisi smelter PT Debonair Nickel Indonesia yang memiliki smelter RKEF di IWIP dengan PLTU berkapasitas 380 MW. Dan pinjaman yang didapat PT Merdeka Tsinghan Indonesia. 

Ricko bilang, satu hal yang menjadi sorotan dalam temuan ini ialah bagaimana kebijakan keuangan yang berkelanjutan berjalan saat ini. 

“Bank Eropa sudah memiliki komitmen untuk melakukan pembiayaan ke proyek berkelanjutan, artinya bebas dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dampak lingkungan yang sampai menurunkan manfaat lingkungan itu sendiri,” ujarnya. 

Baca Juga: Freeport Indonesia Menanti Persetujuan RKAB dari ESDM

Ricko menyatakan, hal ini mendorong urgensi bagi lembaga keuangan di kedua negara tersebut, China dan Eropa, meninjau ulang komitmen hijau atas keterlibatannya dalam aliran pembiayaan di industri nikel. 

Sebagai kesimpulan, The Prakarsa mengemukakan, pentingnya menggalakkan praktik keuangan dan bisnis berkelanjutan bagi perusahaan di industri nikel hingga Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang terlibat dalam aliran pembiayaannya. 

Hal ini ditunjukkan dengan harapan lembaga keuangan beserta perusahaan-perusahaan nikel mampu mewujudkan dan meningkatkan praktik transisi energi berkeadilan di sektor nikel di Indonesia. 

 
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .