KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan Posman Sibuea menilai, upaya Indonesia meningkatkan produksi beras tahun lalu tak hanya terkendala karena El Nino. Diketahui tahun lalu di tengah fenomena El Nino yang membuat beberapa negara menutup sementara keran ekspornya, Thailand dan Vietnam justru mengalami kenaikan ekspor beras. Indonesia tahun lalu terpaksa melakukan importasi beras, di mana Thailand dan Vietnam menjadi salah satu negara yang ikut memasok ke Indonesia.
Posman mengatakan, yang menyebabkan Indonesia tahun lalu belum bisa seperti Vietnam dan Thailand bukan hanya karena adanya El Nino.
Baca Juga: Rekor Impor Beras Ia menjelaskan, berdasarkan laporan International Rice Research Institute (IRRI) beberapa tahun lalu menyebutkan ongkos produksi beras di Indonesia lebih mahal dari sejumlah negara di Asean. Posman mengatakan biaya produksi beras di Indonesia sekitar 2,5 kali lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam, dan 2 kali lebih mahal dari Thailand. "Seiring dengan itu biaya produksi per satu kilogram beras di dalam negeri mencapai rata-rata Rp4.076. Sedangkan biaya produksi di Vietnam mencapai Rp1.679 per kg, di Thailand mencapai Rp2.291 per kg, dan di India sebesar Rp2.306 per kg," jelas Posman dihubungi Kontan.co.id, Rabu (17/1). Meski demikian, Posman menilai masih ada tantangan lain yang harus dibereskan pemerintah agar mampu kembali meraih swasembada beras. Ia menilai saat ini petani lokal juga masih menemui banyak kesulitan mulai dari masalah benih, luas lahan, kelangkaan pupuk, pasca panen, serta akses permodalan yang berdampak pada proses bercocok tanam yang tidak efisien. Selain itu, kapasitas petani sebagian besar masih belum produktif dan menua serta mengalami guremisasi. "Tak hanya masalah biaya produksi dan fenomena El Nino yang sulit diatasi, sejumlah faktor lain tidak mendukung peningkatan produksi yang membuat pemerintah mengandalkan beras impor," imbuhnya. Oleh karenanya, ke depan Posman menegaskan pemerintah harus lebih serius mengatasi berbagai faktor diatas melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menerangkan, kondisi perberasan di Indonesia tak bisa apple to apple dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand. Ia menjelaskan, misalnya Indonesia sendiri memiliki jumlah penduduk yang dua kali lipat lebih banyak dari Vietnam. Ia juga menyinggung sebelum melakukan impor tahun lalu, Indonesia bahkan sempat mengalami swasembada beras pada 2017, 2019 dan 2020. Namun pada 2023 El Nino menerjang yang pada akhirnya berpengaruh pada produksi. "Dulu swasembada 2017 kemudian 2019-2020 swasembada. Penduduk 270 juta kita mampu swasembada. Kemudian tiba-tiba saja ada El nino. Sehingga kondisi terjadi. Tapi tolong bandingkan apple to apple kalo penduduk kita sama, tapi penduduk kita 2 kali lipat, tapi pernah swasembada kemudian ada el nino ini gorila El Nino," jelas Amran ditemui di Kantor Kementerian Pertanian.
Baca Juga: Hadapi Musim Tanam, Kementan Pastikan Ketersediaan Solar hingga Pupuk Lebih lanjut, tahun lalu impor beras yang dilakukan Indonesia ditujukan untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP). Sebagai upaya memastikan produksi beras tahun ini Kementerian Pertanian sudah melakukan tanam sejak akhir tahun kemarin. Desember tahun lalu Amran menyebut sudah dilakukan tanam seluas 1,5 juta hektare. Di mana dari sana diproyeksi akan mampu memenuhi kebutuhan dalam sebulan. "Alhamdulillah Desember kita dapat 1,5 juta hektare. Artinya kalau 1,5 juta hektare itu mampu memenuhi kebutuhan bulan. Bukan setahun hanya bulan. Januari, Februari, Maret. Itu bisa memenuhi 3 juta produksi," kata Amran. Kemudian bulan ini Amran menargetkan tanam dapat ditingkatkan hingga 1,7 juta hektare. Dengan demikian harapannya tiga bulan ke depan produksi takkan kekurangan.
"Januari kita kejar jangan di bawah 1,5 juta (hektare). Kami target 1,7 (juta hektare). Sehingga jadi 3 bulan ke depan kita sudah produksi dan tidak kekurangan," jelas Amran. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan maka tanam padi setidaknya harus bisa lebih dari 1 juta hektare. Sehingga dengan target tanam 1,7 juta hektare bulan ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan sehingga tak diperlukan impor. Arief berharap dari hasil tanam yang dilakukan Kementerian Pertanian bisa memenuhi. Namun kembali upaya mendorong produksi harus didukung oleh semua pihak, tak bisa hanya dilakukan oleh Kementerian Pertanian saja. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi