Tak Mudah Menentukan PNBP Sektor Kehutanan Sebagai Kerugian Negara



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Hak Guna Usaha (HGU) merupakan hak konstitusional bagi warga negara untuk memanfaatkan lahan sesuai peruntukanya. Tidak semua pemegang HGU didapatkan melalui pelepasan kawasan hutan.

Bisa juga melalui akuisisi, jual beli atau hasil lelang dari Bank dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 

Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Sadino, mengatakan, pemegang HGU mendapatkannya dari akuisisi atau jual beli, lelang lembaga perbankan dan juga dari BPPN di saat krisis moneter 1998. 


Baca Juga: Bank Tanah Targetkan Perolehan Tanah Seluas 20.000 Hektar pada 2023

Sehingga, tak semua pemegang HGU memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) begitu juga pemegang IPK bukan otomatis pemegang izin pelepasan kawasan hutan. 

“HGU didapatkan dari akuisisi atau jual beli dan lelang yang dilakukan perbankan dan BPPN disaat krisis moneter 1998. Waktu itu, banyak pemegang HGU kesulitan meneruskan usahanya karena kesulitan modal. Sehingga HGU yang perjualbelikan, apalagi menurut aturan jual beli HGU tak dilarang,” kata Sadino melalui keterangan tertulis, Senin (16/1). 

Menurut Sadino, karena investor mendapatkan HGU dari lelang atau membeli maka sebagian besar tidak memiliki IPK. Alasannya, HGU adalah hak atas tanah yang berarti bukan kawasan hutan sehingga untuk apa mengurus IPK. 

“Ketelusuran regulasi penting karena tak semua lahan bisa dijadikan perkebunan. Apalagi, sebagian besar lahan sudah tak berhutan sehingga sulit menghitung PSDH dan DR,” katanya. 

Baca Juga: Kementerian Kelautan dan Perikanan Tegaskan Wilayah Kepulauan Widi Tidak Dilelang

Sadino mempertanyakan, darimana muncul hitungan kerugian sekian triliun rupiah tanpa melakukan penelitian, kondisi lahan saat itu saja masih sulit dibayangkan. Di masa lalu lahan hutan sudah terbagi habis dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).  

Apakah itu semua bisa sudah diungkapkan dalam persidangan korupsi. Sebab, hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu menghitung kerugian masa lampau.

Editor: Noverius Laoli