Tak sakti tekan bank, mungkinkah BI rate dihapus?



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) terus mengimbau industri perbankan menurunkan bunga simpanan maupun bunga kredit agar lebih efisien. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate) bahkan hingga ke level terendah sepanjang sejarah yakni 5,75%.

Namun upaya tersebut belum sepenuhnya membuahkan hasil. Bunga bank tetap saja jauh di atas bunga bank sentral. Industri perbankan beralasan, suku bunga kredit tak bisa semerta-merta landai karena sebagian besar deposan mengincar bunga simpanan yang tinggi. Bank masih bergantung pada likuiditas masyarakat untuk melakukan pembiayaan.

Oleh sebab itu, muncullah sebuah wacana di kalangan bankir agar BI rate di dihapuskan saja. Wacana ini Kontan peroleh dari bankir yang enggan disebut identitasnya.


Mungkinkah BI rate dihapus?

Beberapa ekonom yang disurvei Kontan menjawab secara serempak, bahwa BI rate sulit dihapus. Apa alasannya? Ekonom Standar Chartered Bank, Eric Alexander Sugandi menilai tak mudah menghapuskan suku bunga acuan tersebut karena menyangkut hal besar.

“BI rate tak bisa dijadikan acuan bagi industri perbankan. Tapi juga tidak bisa dihapus begitu saja karena menjadi patokan bagi ekspektasi inflasi dan policy stance bank sentral,” jelas Eric.

Maksudnya, patokan BI rate ini sangat berguna untuk melihat makro ekonomi Indonesia secara umum seperti inflasi.

Juniman, Ekonom PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII) memandang, jika BI rate dihapus maka masalah akan timbul di berbagai pos. Salah satunya adalah di pasar surat utang negara (SUN).

“BI rate berfungsi sebagai penggerak di pasar uang. Ini juga masuk sebagai monetary policy,” ulas Juniman.

Bisa disimpulkan, BI rate saat ini hanya sebagai gambaran ukuran risiko investasi di Indonesia, bukan sebagai patokan bunga perbankan. Bunga acuan akan bergerak sejajar dengan risiko suatu negara. Maka semakin tinggi kekhawatiran investasi, yield yang diminta investor pasar uang bakal semakin besar.

Alternatif patokan bunga bagi bank

Jika BI rate tak bisa menjadi acuan, alternatif apa saja yang bisa menjadi acuan? Sebenarnya Indonesia memiliki beberapa patokan bunga.

Pertama, suku bunga FasBI. Eric menilai suku bunga ini paling ampuh dijadikan BI sebagai tolak ukur bunga bagi perbankan. Angkanya yang di bawah BI rate dianggap lebih efektif. “Seharusnya BI lebih tegas saja dalam memberikan penalti bagi perbankan yang bandel mematok bunga tinggi. Sanksi saat ini belum terlalu berat,” ungkap Eric.

Apalagi, pergerakannya lebih stabil. Ekonom Citigroup, Johanna Chua memprediksi bahwa bunga FasBI akan datar sepanjang tahun ini sesuai dengan BI rate.

Tetapi, Ekonom PT Bank BNI Tbk (BBNI) Ryan Kiryanto menilai, patokan FasBi inipun sulit dipakai. Pasalnya, yang paham FasBI ini hanya perbankan saja, sementara masyarakat umum dan pelaku usaha hanya kenal BI rate.

“Kecuali bank sentral mau proaktif melakukan sosialisasi FasBI sebagai suku bunga referensi atau acuan,” papar Ryan.

Jika otoritas moneter berhasil memperkenalkan FasBI kepada masyarakat, alternatif ini bisa menjadi acuan. “Masalahnya, apakah para pemilik dana itu tetap nyaman menyimpan dananya di bank kalau imbal hasilnya kecil, bahkan di bawah inflasi,” jelas Ryan.

Pemilik dana dipaksa menerima imbal hasil yang lebih rendah dari biasanya. “Akan tetapi, suku bunga simpanan di bank yang lebih rendah bisa memicu perpindahan likuiditas ke instrumen investasi yang memberikan hasil lebih tinggi,” ungkap Johanna. Tentu saja hal ini bisa menjadi masalah pelik bagi perbankan yang kekurangan pendanaan.

Selain FasBI, alternatif kedua yang dapat digunakan adalah Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR). Namun ekonom menilai bunga ini tak efektif untuk menekan suku bunga perbankan.

“Jibor hanya ditentukan oleh 15 bank besar. Sifatnya quotation dan subjektif, jadi kurang pas diterapkan menjadi suku bunga acuan bagi bank,” papar Eric.

Menanggapi wacana penghapusan ini, Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur BI hanya menjawab singkat. “Tidak mungkin dihapus. Saya tidak setuju,” tegasnya.

SBDK pun tak sakti tekan bunga

Tak mau tinggal diam dengan BI rate, regulator perbankan mencari banyak jalan keluar untuk menekan bunga perbankan. Khususnya adalah bunga kredit dengan mewajibkan beberapa bank besar memampangkan suku bunga dasar kredit (SBDK).

Nyatanya, meskipun SBDK perbankan menunjukkan penurunan, namun BI menilai penurunan tersebut belum sebesar yang diharapkan. "Ada penurunan tapi tidak sebesar yang kami harapkan. Kami akan terus upayakan," ujar Muliaman, Kamis (12/4). Melihat SBDK lima bank beraset terbesar, memang tampak ada penurunan SBDK dari akhir Februari 2012 ke akhir Maret 2012 penurunan rata-rata terjadi pada ritel dan konsumsi. (lihat tabel) Namun, adapula bank yang justru SBDK-nya mengalami kenaikan, yaitu Bank CIMB Niaga. SBDK CIMB NIaga untuk kredit korporasi naik 75 bps menjadi 11%, ritel naik 25 bps menjadi 11,5%, KPR naik 30 bps menjadi 11,3%, dan non-KPR naik 10 bps menjadi 11,5%. Muliaman menuturkan, BI tidak memiliki target tertentu mengenai penurunan SBDK perbankan. Namun, komunikasi terus dilakukan dengan perbankan. "Kami komunikasikan melalui rencana bisnis bank (RBB)," ujarnya. Disinggung mengenai pembuatan benchmark SBDK, Muliaman menuturkan BI masih akan terus melakukan pengawasan. Nantinya, benchmark tersebut akan disusun berdasarkan pengelompokan bank sesuai kelasnya masing-masing.

Berikut daftar SBDK lima bank besar

Jenis Kredit

Mandiri

BRI

BCA

BNI

CIMB Niaga

Periode

Feb 2012

Maret 2012

Feb 2012

Maret 2012

Feb 2012

Maret 2012

Feb 2012

Maret 2012

Feb 2012

Maret 2012

Korporasi

10,25%

12,00%

10,00%

9,75%

9.00%

9.00%

10,45%

10,2%

10,75%

11.00%

Ritel

12,5%

10,00%

11,75%

11,5%

10,50%

10,5%

12,95%

11,65%

11,25%

11,5%

KPR

11,25%

10,75%

10,25%

10,0%

7,50%

9,5%

11.00%

10,70%

11,00%

11,3%

Non-KPR

12,29%

12,00%

12,25%

12,0%

8,64%

8,18%

12,25%

12,0%

11,40%

11,5%

Sumber : riset Kontan

BI sadar BI rate tak efektif tekan bunga bank

Akar persoalan juga bisa ditarik dari suku bunga penjaminan. Selama ini, bank menggunakan patokan bunga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menentukan bunga simpanan. Sedangkan LPS, menjadikan BI rate sebagai acuan bunga penjaminan simpanan.

Padahal, Gubernur BI, Darmin Nasution menilai tidak pas jika menjadikan BI rate sebagai acuan perhitungan suku bunga penjaminan.

Pasalnya, BI rate bukan sebagai suku bunga pasar melainkan suku bunga referensi semata. Darmin berpendapat, idealnya suku bunga FASBI-lah yang seharusnya dijadikan LPS sebagai suku bunga pasar.

Ia mengungkapkan UU LPS tidak mengamanatkan bunga penjaminan dikaitkan dengan BI rate. UU LPS mengamanatkan supaya nasabah penyimpan jangan mendapatkan benefit yang berlebihan bila diukur dengan bunga pasar atau market rate.

“Pertanyaannya, apa itu bunga pasar? Sejauh ini di sana (LPS) diartikan bunga pasar itu BI rate. Tidak pas. BI rate itu bunga referensi. Yang ada instrumennya itu adalah batas bawah maupun batas atas. Koridornya sudah kita ubah-ubah beberapa kali itu,” papar Darmin, Jumat (10/2).

Sekedar mengingatkan, Januari 2012 BI memperlebar batas bawah suku bunga deposit facility (simpanan bank di BI/FASBI) dari 150 bps menjadi 200 bps. Artinya, bank-bank yang memiliki kelebihan dana dapat menyimpannya di BI dengan bunga yang diberikan berselisih 2% dari BI rate.

Nah, paska penurunan BI rate sebesar 25 bps menjadi 5,75% Kamis (9/2), suku bunga untuk fasilitas simpanan over night (o/n) pada deposit facility pun ikut turun dari sebelumnya 4% menjadi 3,75%. Sementara itu, koridor atas dipertahankan 100 bps di atas BI rate. Dengan level BI rate saat ini 5,75% maka koridor batas yang menjadi ukuran bunga bagi perbankan yang meminjam dana di BI (lending rate) menjadi 6,75%.

“Jadi sebenarnya di dunia perbankan, bunga pasar itu lebih dekat ke FASBI, bukan ke BI rate. Itu dia salahnya,” ujar Darmin.

Patokan suku bunga pasar lainnya, saran Darmin adalah yield di pasar surat berharga negara (SBN). Kurva yield SBN jelas memperlihatkan pergerakan bunga. Mulai dari tenor satu bulan, tiga bulan, enam bulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, hingga tiga puluh tahun.

“Itu juga market rate. Tapi nanti orang bilang, di situ terlalu rendah karena asingnya banyak. Cari yang tidak ada asingnya deh. Ya kalau di sekitar perbankan dan BI, ya pakai (bunga) FASBI,” tukas Darmin.

Jadi, bagaimana bunga bank bisa turun? “Harus ada kesepakatan di antara para deposan untuk mengurangi imbal hasil. Dan hal itu sangat tidak mungkin dilakukan sekarang,” pungkas Juniman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: