Tak Semua Anggota BRICS Mendukung Tawaran Rusia untuk Dedolarisasi, Siapa Saja?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. BRICS, yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, terus menarik perhatian dunia dalam langkah-langkah ekonominya yang signifikan, terutama mengenai upaya de-dolarisasi.

Meskipun terdapat persatuan yang ditunjukkan dalam pertemuan di Kazan, Rusia, perbedaan geopolitik di antara anggota BRICS terkait nilai de-dolarisasi masih terlihat jelas.

Perbedaan ini bahkan berpotensi semakin mencuat dengan adanya rencana ekspansi blok ini, yang kini melibatkan negara-negara baru seperti Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.

Ekspansi Anggota BRICS dan Peran Negara Mitra dalam De-Dolarisasi


Ekspansi anggota BRICS yang terbaru mencerminkan keseriusan blok ini untuk memperluas pengaruhnya di kancah global.

Baca Juga: Antara BRICS dan OECD, Ekonom: Sama-Sama Punya Kelebihan

Selain anggota baru, terdapat 13 negara yang diundang sebagai "negara mitra" yang diharapkan dapat mendukung agenda bersama, termasuk di bidang lingkungan, reformasi keuangan, dan resolusi konflik global.

Namun, di antara negara-negara BRICS dan mitra-mitranya, terdapat perbedaan kepentingan yang signifikan, khususnya dalam hal de-dolarisasi.

Langkah ini berusaha mengurangi dominasi dolar AS dalam transaksi internasional.

Meskipun Rusia aktif mendorong de-dolarisasi, tidak semua anggota baru BRICS menunjukkan antusiasme yang sama.

Beberapa di antaranya masih merasa perlu menjaga stabilitas ekonomi domestik yang didukung oleh transaksi dolar.

Kolaborasi dalam Isu Lingkungan dan Reformasi Finansial

Selain upaya de-dolarisasi, para pemimpin BRICS juga menekankan pentingnya kerja sama dalam menjaga lingkungan.

Baca Juga: Indonesia Mulai Proses Bergabung dengan BRICS

Ini terlihat dari pernyataan Presiden Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin yang menunjukkan kesepahaman dalam penanganan isu-isu terkait perlindungan lingkungan.

BRICS menargetkan berbagai program untuk mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas industri, sambil mendorong standar produksi yang berkelanjutan di seluruh anggota.

Dalam reformasi finansial, negara-negara BRICS juga mendorong perubahan yang lebih adil dalam struktur global, termasuk peran lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia yang dianggap perlu direformasi.

Dialog Tertutup Xi Jinping dan Vladimir Putin: Apa yang Menjadi Fokus?

Dalam pertemuan Kazan, Xi Jinping dan Vladimir Putin terlihat mengadakan dialog singkat yang menimbulkan spekulasi mengenai topik yang dibahas.

Menurut Sarang Shidore, Direktur Program Global South di Quincy Institute for Responsible Statecraft, pertemuan tersebut kemungkinan membahas isu-isu penting seperti proteksionisme hijau dan stagnasi yang terjadi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Baca Juga: Ini Penjelasan Menlu Sugiono Terkait Minat Indonesia Bergabung dengan BRICS

Dialog ini memberikan petunjuk bahwa Cina dan Rusia, sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dan politik signifikan di BRICS, memiliki peran sentral dalam menetapkan arah kebijakan blok ini.

Komitmen mereka untuk bekerja sama dalam isu-isu global yang lebih besar menunjukkan adanya upaya untuk memperkuat posisi BRICS sebagai alternatif dari blok ekonomi yang didominasi negara-negara Barat.

Tantangan dan Masa Depan BRICS dalam De-Dolarisasi

Upaya de-dolarisasi oleh BRICS bukanlah hal yang mudah. Blok ini masih menghadapi tantangan dari dominasi dolar dalam perdagangan internasional dan pasar finansial global.

Meskipun beberapa anggota, terutama Rusia, berusaha keras mengurangi ketergantungan pada dolar, proses ini memerlukan waktu dan penyesuaian besar.

Baca Juga: BRICS Menyiapkan Alternatif Mata Uang Penantang Dollar AS

Selain itu, tidak semua anggota baru, seperti Iran dan Mesir, memiliki infrastruktur ekonomi yang siap untuk mengadopsi de-dolarisasi penuh dalam waktu dekat.

BRICS dihadapkan pada tugas berat untuk merumuskan strategi kolektif yang dapat mengakomodasi kepentingan seluruh anggotanya, sembari menjaga kohesi dan efektivitas blok.

Dengan latar belakang ekonomi dan kepentingan nasional yang beragam, integrasi penuh terhadap agenda de-dolarisasi akan membutuhkan pendekatan diplomasi yang cermat.

Editor: Handoyo .