Tak sesuai RTRW, proyek kereta cepat terburu-buru



JAKARTA.Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai terlalu terburu-buru. Sejumlah pihak keberatan dengan pembangunan proyek tersebut karena tidak tercantum dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Menurut Wakil Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Elkana Catur Hardiansah, pemerintah harus membuat penyesuaian skenario dengan yang ada di dalam dokumen RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

"Dengan adanya kereta cepat, skenario harus berubah seperti apa? Jangan kemudian, bangun kereta cepat dan membiarkan pasar membangun kawasan seenaknya," ujar Elkana kepada Kompas.com, Kamis (21/1/2016).


Dengan penyesuaian kembali, kata Elkana, dampak negatif bisa diperkecil dan dampak positif bisa diperbesar.

Kawasan yang terbangun akan menciptakan perubahan permukiman. Dengan pembangunan kereta cepat, tentu juga harus ada jalan-jalan penghubung antara stasiun pemberhentian dengan permukiman tersebut.

Dalam hal ini pemerintah yang harus memikirkan bagaimana transportasinya, dan apakah sanitasi dan fasilitas air minum mendukung kawasan tersebut untuk berkembang.

Pemerintah yang bertanggung jawab menyesuaikan hal tersebut tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah, karena RTRW dan RDTR sudah diterbitkan dalam skala nasional, provinsi, kabupaten dan kawasan.

Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek kolaboratif konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), yang terdiri dari China Railway International Co Ltd (CRI) dan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).

PSBI merupakan gabungan dari empat perusahaan pelat merah, yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Jasa Marga (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero).

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membutuhkan dana 5,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 70 triliun.

Dari total nilai proyek tersebut, 75 persen pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank.

Sebesar 25 persen sisanya merupakan patungan PSBI sebesar 825 juta dolar AS atau setara dengan 60 saham konsorsium dan CRI 50 juta dolar AS atau 40 persen saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan