Tak siap hadapi MEA, itu tidak logis



JAKARTA. Paahit. Begitulah kesan  yang ada di benak kebanyakan tentang jamu.  Ya, bukan jamu memang kalau rasanya manis. Cuma, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, jamu tidak lagi identik dengan rasa yang pahit.Bahkan sekarang jamu bukan lagi sekadar sebagai obat, tapi juga sudah mulai berfungsi sebagaimana produk-produk lain  yang sejenis, seperti suplemen, makanan, dan vitamin tambah-an, kosmetik, serta penyegar, termasuk spa.Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, saat ini ada 1.247 industri dan usaha obat tradisional di Indonesia. Sebanyak 129 di antaranya adalah industri obat tradisional, sedang sisanya yang 1.037 merupakan usaha mikro dan kecil obat tradisional. Dan, ada 10 perusahaan yang masuk industri obat tradisional skala besar, seperti Sido Muncul, Bintang Toejoe, Jamu Air Mancur.Angka penjualan industri yang menyerap 15 juta pekerja ini tidak main-main. Kemperin memperkirakan, penjualan industri obat tradisional tahun ini bakal tumbuh sebesar 5% menjadi Rp 15 triliun ketimbang tahun lalu. Dari angka itu sekitar 5% hingga 6% berasal dari penjualan untuk pasar ekspor.Oleh karena itu, Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Sido Muncul, menegaskan, dibanding dengan negara ASEAN lain, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, industri jamu Indonesia yang paling siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan. Negara-negara di Asia Tenggara bisa dibilang sebagai pendatang baru dalam industri jamu. Justru mereka yang khawatir dengan industri jamu Indonesia. “Kalau kita takut dan tak siap menghadapi MEA 2015, itu tidak logis,” tegas dia.Modalnya, pertama, tradisi minum jamu sudah ada sejak dulu dalam masyarakat kita. Kedua, keragaman tanaman obat plus kondisi tanah yang subur dan area yang luas. Dari 40.000 spesies tanaman obat yang ada di dunia, sekitar 30.000 tumbuh di Indonesia. Ketiga, pasar yang besar lantaran jumlah penduduknya paling banyak di Asia Tenggara.

Tambah lagi, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2010 menunjukkan, 50% penduduk kita menggunakan jamu, baik untuk menjaga kesehatan maupun pengobatan karena sakit.  Keempat, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. “Sekarang tinggal bagaimana kita memaksimalkan dalam pengelolaannya,” kata Irwan.Meski begitu, bukan berarti kita menganggap remeh industri obat tradisional negara tetangga, khususnya Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Ketiga negara ini memang pendatang baru dalam industri obat tradisional, tapi pertumbuhan mereka lumayan pesat. Soalnya, dukungan Pemerintah Malaysia, Vietnam, dan Thailand sangat besar terhadap industri obat tradisionalnya, terutama dalam riset dan pengembangan.Tapi, Irwan tidak melihat pasar bebas ASEAN tahun depan sebagai ancaman, melainkan  peluang besar. Asalkan, Indonesia bisa menempatkan industri jamu nasional dengan tepat.  Peluang yang bisa kita tangkap adalah dalam pengadaan tanaman obat dan hasil ekstraksi simplisia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan atawa sediaan galenik. Lalu, sebagai pemasok sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik atau fitofarmaka dan produk herbal. “Pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan atau saintifikasi jamu juga harus diperkuat, agar penggunaan obat herbal sampai di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dadan M. Ramdan