Taliban kepada mantan pejabat: Jangan panik dan kembali bekerja



KONTAN.CO.ID - KABUL. Ashraf Haidari, seorang ekonom di kementerian keuangan Aghan, sedang menunggu dengan cemas di rumah ketika ada telepon dari Taliban. Seorang komandan Taliban memerintahkannya kembali bekerja sehingga dia bisa membantu menjalankan negara begitu "orang asing yang gila" pergi.

Melansir Reuters, seperti ribuan orang lain yang bekerja untuk pemerintahan yang didukung Barat, yang tersapu oleh penaklukan kilat militan Islam di Afghanistan, Haidari khawatir dia mungkin menjadi korban pembalasan Taliban.

Namun yang terjadi, seorang komandan Taliban mendesak Haidari untuk kembali ke kementeriannya di mana dia bekerja mengalokasikan dana ke 34 provinsi negara itu.


“Dia mengatakan jangan panik atau mencoba bersembunyi, para pejabat membutuhkan keahlian Anda untuk menjalankan negara kami setelah orang asing gila pergi,” jelas Haidari, 47 tahun, kepada Reuters.

Baca Juga: PM Inggris: G7 setuju Taliban harus mengizinkan keberangkatan setelah 31 Agustus

Untuk menyesuaikan dengan norma-norma pemerintahan Taliban sebelumnya, ketika mereka secara brutal menerapkan interpretasi ketat terhadap hukum Islam, Haidari pun menumbuhkan janggut. Setelah panggilan telepon pada hari Minggu, dia menukar jasnya dengan jubah tradisional Afghanistan untuk bertemu dengan bos barunya.

Reuters berbicara dengan tiga pejabat tingkat menengah lainnya di kementerian keuangan dan bank sentral Afghanistan yang mengatakan bahwa mereka telah diberitahu oleh Taliban untuk kembali bekerja, karena negara itu menghadapi pergolakan ekonomi dan kekurangan uang tunai.

Sohrab Sikandar, yang bekerja di departemen pendapatan kementerian keuangan, mengatakan dia belum melihat rekan perempuannya sejak dia kembali ke kantor.

Baca Juga: Kekhawatiran akan kembangkitan Al-Qaeda pasca Taliban kuasai Afganistan mengemuka

Selama pemerintahan Taliban 1996-2001, perempuan tidak bisa bekerja, harus menutupi wajah mereka dan ditemani oleh kerabat laki-laki jika mereka ingin keluar rumah.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie