Tanamkan pendidikan berkarakter berbasis semangat kebangsaan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pendidikan memiliki peran penting terhadap pembangunan bangsa. Kualitas pendidikan dan sumberdaya manusia menjadi indikator daya saing dan maju mundurnya peradaban suatu bangsa. Dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, dunia pendidikan memiliki andil besar dalam merebut kemedekaan lewat tokoh tokoh nasional yang memotori pergerakan nasional. Artinya, kemerdekaan ini juga adalah buah dari hasil pendidikan yang telah melahirkan tokoh tokoh bangsa tersebut.

Namun belakangan, muncul kekhawatiran  karena pendidikan justru dijadikan instrumen untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dengan menghembuskan pemikiran-pemikiran radikal, sikap dan tindakan intoleransi, anti Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas dasar itu, implementasi pendidikan karakter pada generasi muda saat ini sangat penting untuk menangkal gerakan-gerakan yang merongrong keutuhan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. ”Paham-paham radikalisme, antitoleransi, anti NKRI dan Pancasila hingga ide negara khilafah masuk lewat pembelajaran di lembaga pendidikan,” kata Mohammad Amin, Ketua Bidang Pendidikan dan Tenaga Kerja Pimpinan Pusat GP Ansor dalam Refleksi Pendidikan Nasional yang digelar Ansoruna Bussiness School PP GP Ansor, Jakarta, Selasa (1/5).

Pada diskusi yang bertajuk implementasi pendidikan karakter berbasis semangat kebangsaan dan cinta tanah air, Amin menyampaikan, jika dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini, pendidikan memiliki peran penting. Ya, tonggaknya adalah politik etis atau politik balas budi yang digagas Eduard Douwes Dekker, seorang waga keturunan Belanda yang priharin tas nasib kaum pribumi. Dengan pilar politik etis ini, maka akses masyarakat terhadap pendidikan kalam itu semakin luas, sehingga melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno yang menuntut kemerdekaan bangsa Indonesia. “Dari perjuangan tokoh-tokoh bangsa inilah kita bisa menikmati kemerdekaan sekarang ini. Dan kemerdekaan ini adalah buah dari pendidikan,” sebutnya.


Apabila pendidikan dijadikan instrumen untuk memecah belah keutuhan bangsa, Amin mengingatkan, hal itu merupakan kemunduran dari sebuah peradaban. Pendidikan seyogianya bisa memajukan peradaban bukan sebaliknya menjadi hal yang paradoks. Jangan sampai sesama tetangga menjadi saling bermusuhan karena beda pandangan, atau antaretnis terjadi perang karena memaksakan kehendak masing-masing. “Ada upaya-upaya untuk merong-rong keutuhan NKRI lewat pendidikan yang harus diwaspadai,” ungkapnya.

Nah, tumbuhnya paham radikalisme ini bukan omong kosong. Amin menyodorkan hasil jajak pendapat terhadap 4.200 kaum muda muslim oleh Alvara pada tahun lalu. Indikasinya, sekitar 20% mahasiswa dan pelajar Indonesia mendukung kekhalifahan Islam untuk mengganti Pancasila. Hasil survei ini juga mencatat 18,6% mahasiswa dan 16,8% pelajar memilih ideologi Islam lebih tepat untuk Indonesia. Selebihnya 23,4% mahasiswa dan 23,3% pelajar menyatakan siap berjihad untuk menegakkan negara Islam atau khilafah. GP Ansor memandang pentingnya mengimplementasi pendidikan karakter berbasis semangat kebangsaan dan cinta tanah air dalam menyikapi fenomena tersebut.

Ketika berbicara soal pendidikan berkarakter, Hariyanto Oghie, Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama mengungkapkan, jauh sebelum Indonesia merdeka, para kiai di pondok-pondok pesantren sudah mengajarkannya kepada para santri. Dan hingga kini, tradisi pendidikan tersebut masih dipertahankan dan dijaga meski terjadi pasang surut akibat perubahan di masyarakat.

Dalam perkembangannya, para pemegang kebijakan kurang mengapresiasi tradisi pendidikan pesantren ini, bahkan terkesan melupakan akar sejarah berdirinya bangsa ini yang tak lain hasil perjualan para kiai dan santri. Malah terjadi disrupsi yang menyebabkan munculnya perubahan secara radikal, sehingga pola lama dari tradisi pendidikan berkarakter di pondok pesantren yang sudah dulu ada seperti pendatang (nomadik) dan pola baru menjadi asing (native). Di sisi lain, sistem pendidikan di pesantren juga mendapat perlakuan diskriminasi baik dari sisi kualitas sumberdaya maupun fasilitas belajar yang bersumber dari pendanaan negara, sehingga sulit berkembang.

Hariyanto mengklaim, apabila konsep pendidikan berkarakter yang berasal dari tradisi ahlus sunnah wal jama'ah ini diadopsi dan dikembangkan, maka akan melahirkan insan yang tidak hanya cinta kepada Tuhannya tapi juga cinta terhadap bangsa dan tanah airnya. Ciri dan sifat ini yang hingga saat ini dijaga dan dipelihara oleh para nahdliyin.

Hariyanto juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang kerap gonta-ganti kurikulum pendidikan. Hal ini justu membingungkan dunia pendidikan karena sulit cepatnya perubahan kurikulum menjadikan persoalan dalam pelaksanaannya di satuan pendidikan. “Di negara lain, kurikulum nasional dievaluasi setiap 10 tahun-15 tahun sekalai, tapi di Indonesia bisa tiga tahun sudah berubah. Belum juga selesai sosialisasi dan guru baru bisa memahami, muncul kurikulum baru yang akhirnya sulit diimplementasikan,” paparnya.

Celakanya, kecenderung birokrat di kementerian terkait yang malah sibuk dengan urusan-urusan tidak subtansial. Alhasil, lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang hanya menghabiskan dana APBN.

Lantas, pendidikan berkarakter seperti apa yang selama ini diterapkan di lingkungan Nahdlatul Ulama? Menurut Hariyanto, pada prinsipnya, pendidikan berkarakter memiliki empat kompetensi isi, yakni spiritual, sosial, pengetahuan dan keterampilan. “Kalau empat kompetensi isi ini teritegrasi dalam setiap mata pelajaran, maka akan melahirkan peserta didik yang berkarakter. Mereka tidak hanya pintar secara akademik, tapi juga memiliki ketaatan terhadap ajaran agama dan punya rasa nasionalisme yang tinggi,” sebutnya.

Menurut Hariyanto, PPK yang dikembangkan NU bertujuan untuk membangun dan membekali  peserta  didik  sebagai generasi  emas Indonesia  tahun  2045 dengan  jiwa  Pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan.Untuk itu, sistem pendidikan dalam kultur NU ini harus terus dikembangkan dengan pengembangan platform pendidikan nasional dengan meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi  peserta didik. Ini tentunya memerlukan dukungan dan pelibatan publik lewat pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia.

Hariyanto menjelaskan, dalam paradigma pendidikan NU, dikenal yang namanya ukhuwah islamiyah yakni nilai pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik adalah merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Kemudian, secara ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama menjadi bagian dari bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Selanjutnya, konsep khuwah basyariyah atau insaniyah yang mengajarkan perbersudaraan satu sama lainnya karena merupakan bagian dari umat manusia.

"Dalam konteks ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah atau insaniyah semua umat manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Jalinan ukhuwah tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya," tukas Hariyanto.

Sementara itu, nilai-nilai ahlussunnah waljamaah annahdliyyah tercermin dalam tawassut dan iktidal, yakni bersikap tengah-tengah dan adil, tawazun atau seimbang dan tasamuh atau toleran. Selain itu, penekanan terhadap amar makruf nahi munkar yang terefleksi dari sifat peka, cerdas, dan sigap dalam menegakkan kebenaran serta mencegah kemunkaran.

Semua nilai-nilai karakter tersebut, harus terintegrasi dalam setiap mata pelajaran karena ancaman yang dihadapi peserta didik semakin berat dan beragam. Hariyanto berujar, saat ini memang terjadi disrupsi sektor teknologi informasi dan perekonomian. Sayangnya, Nahdlyin belum menjadi leader dalam kedua sektor tersebut. "Justru kelompok Islam simbolis dan fundamentalis yang meski minoritas tapi menjadi leader di dua sektor tersebut," sebutnya.

Itu sebabnya, masyarakat NU berkomitmen dalam penyiapan Generasi Emas 2030 agar menjadi generasi pemenang. Caranya, para pemangku kebijakan agar menetapkan arah dan tujuan pendidikan, mulai dari ujung terdekat maupun ujung terjauh. Kedua, menanamkan nilai dasar (sholih) seperti pinter dan bener kepada peserta didik dalam pengajaran di satuan pendidikan. Ketiga, mengembangkan kemampuan utama yang harus dimiliki peserta didik yakni adaptabilitas, survivabilitas, dan berdaya saing.

Dalam kesempatan yang sama, Awalludin Tjalla, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memaparkan, karakteristik generasi milenial saat ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Karakter pada generasi Y ini antara lain percaya diri, gigih, multi tasking, berpikir kritis, haus tantangan dan berwawasan. “Tapi generasi now atau milenial ini sangat tergantung pada teknologi,” ujarnya.

Namun, ancaman yang dihadapi mereka juga tidak main-main akibat ekses informasi teknologi semangkin maju. Arus informasi sangat mudah diakses, baik informasi yang positif maupun buruk. Ancaman yang mengintai generasi saat ini adalah pornografi, narkoba dan ideologi transnasional. “Ideologi transnasional merujuk kepada pergerakan ideologi  global yang melintasi batas-batas antarnegara dan bangsa,” katanya.

Awalludin pun menyadari bahwa kualitas pendidikan nasional masih tertinggal jauh dari negara-negara maju jika merujuk berbagai ranking secara global. Itu sebabnya, pemerintah terus berupaya menyempurnakan kurikulum pendidikan nasional. Lewat kurikulum pendidikan nasional yang mengintegrasikan karakter dan kompetensi isi dalam setiap mata pelajaran, pemerntah berharap kualitas penidikan Indonesia bisa meningkat.

Dalam pengembangan kurikulum, pemerintah menKompetensi abad 21 yang harus dikuasai peserta didik adalah kemampuan kompetensi 4C yakni berpikir kritis dan penyelesaian masalah, kreativitas dan inovasi, serta kemampuan komunikasi plus kolaborasi. Di era global dewasa ini, peserta didik juga harus memiliki akses ke literasi informasi, literasi media dan literasi teknologi. "Soal literasi ini, Indonesia peringkatnya paling bawah, dari 61 negara Indonesia berada di ranking 60, hanya satu peringkat dari negara di Afrika," sebut Awalludin.

Tak cukup kopetensi 4C dan kemampuan literasi yang harus dikuasai, Awalludin menambahkan, peserta didik juga harus memiliki modal kecakapan hidup mumpuni supaya bisa bersaing, yakni fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, interaksi lintas sosial budaya, produktivitas dan akuntabilitas, serta kepemimpinan dan tanggung jawab. "Rata-rata di negara maju peserta didiknya memiliki kecakapan hidup yang tinggi," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan