Tanda Trauma Bullying - Tindakan perundungan atau
bullying tidak hanya membawa trauma buruk pada korban, pelaku
bullying juga bisa mengalami trauma yang sama. Beberapa waktu lalu berita tentang perundungan di sekolah kembali menghebohkan masyarakat. Maraknya kasus perundungan khususnya di sekolah membuat masyarakat menjadi resah. Ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Universitas Airlangga (Unair), Margaretha, menyampaikan bahwa dalam risetnya pada remaja usia sekolah ditemukan sekitar 40 persen siswa pernah melihat atau terlibat di dalam perundungan.
Baca Juga: 6 Dampak Negatif Bullying pada Anak yang Harus Diperhatikan Orangtua Ia menilai masih banyak kesalahan pikir yang mana orang mengira perundungan adalah hal yang biasa terjadi di antara anak dan remaja, atau disamakan seperti perselisihan antar teman. Menurutnya, perundungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental korban, dan juga memperburuk kondisi psikologis pelaku.
Memahami tindakan bullying dan penyebabnya
Perundungan adalah tindakan agresi, yaitu penggunaan kekerasan dari seseorang kepada yang lainnya. Artinya terdapat pelaku dan korban. Kekerasan digunakan secara berulang, bisa dalam bentuk fisik, verbal, emosional, eksploitasi ekonomi, dan penelantaran, serta juga bisa dilakukan secara online. “Selain itu, di sosial media seseorang bisa menggunakan identitas palsu dan merasa bisa menjadi siapa saja serta melakukan apapun termasuk trolling; akibatnya orang seperti inilah yang melakukan perundungan online, atau
cyber bullying,” jelas Margaretha, dikutip dari situs
Unair Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku perundungan. Salah satunya adalah karena mereka belajar menggunakan kekerasan dari rumah atau di interaksi sosial mereka. “Jadi misalnya anak mengalami kekerasan di rumah. Apabila mereka tidak suka terhadap sesuatu, maka mereka akan memukul atau menggunakan kekerasan. Hal ini masuk dalam alam berpikirnya,” ujarnya. Faktor lingkungan yang juga mempengaruhi adalah perilaku teman sebaya. Ia menilai bahwa pelaku perundungan tersebut berawal dari rasa tidak suka kepada temannya, yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk kekerasan. Selain itu, pelaku perundungan biasanya adalah orang yang kurang cakap menyelesaikan masalah pribadi dan sosialnya, sehingga mereka menggunakan tindakan kekerasan sebagai cara yang sebenarnya tidak efektif, atau kekerasan sebagai pengalihan akibat tidak bisa menyelesaikan masalah, Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat seseorang beresiko tinggi menjadi korban perundungan, antara lain kurangnya dukungan sosial, kelemahan penyelesaian konflik, serta memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas. “Semua orang bisa mengalami agresi, tapi yang biasanya jadi korban lebih lama adalah mereka yang lebih lemah secara sosial, atau mereka yang punya disabilitas. Contohnya, siswa dengan disabilitas di sekolah inklusi rentan mengalami
bullying” papar Margaretha.
Baca Juga: Marak Bullying di Sekolah, Orangtua Pahami 6 Bentuk Kekerasan yang Terjadi di Sekolah Gejala trauma bullying
Margaretha menjelaskan, tidak semua korban perundungan mengalami trauma. Hal ini tergantung pada bagaimana mereka menyelesaikan masalah dan mendapatkan bantuan. Ia menambahkan bahwa melapor adalah salah satu cara untuk menghentikan perundungan. “Sebenarnya kalau kita melihat bullying, seharusnya kita menjadi saksi yang melaporkan atau menghentikan. Jadi bukan menjadi pengamat saja (atau
bystander effect), tapi menjadi
agent of change. Kita harus berani menyatakan
stop bullying, we have to speak up dan jangan mempermaklumkan bullying” ujar Margaretha. Gejala trauma akibat perundungan tampak bervariasi setiap individu. Contoh gejalanya seperti rasa takut dan menarik diri, atau menjadi lebih reaktif/sensitif.
Namun, secara umum, seseorang yang mengalami trauma akan menjadi sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari, menghadapi situasi sosial, atau mengatasi kecemasan dirinya. Seperti misalnya anak menghindari sekolah karena di sekolah dia bully. Para korban bullying juga bisa mengalami kecemasan berlebih, kesulitan tidur, mimpi buruk, hingga penurunan nilai akademik. “Bahkan, terdapat beberapa kasus berat yang mengarah kepada depresi dan berniatan untuk mengakhiri hidup. Walaupun tidak semua seperti itu,” papar Margaretha. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News