Elon Musk, triliuner pemilik perusahaan SpaceX dan Tesla, mencurahkan isi hatinya dalam wawancara panjang dengan New York Times, hari Kamis 16 Agustus 2018. Musk yang acapkali dijuluki sebagai Iron Man alias Manusia Besi ini, menangis dan merasa tak sanggup lagi melanjutkan pekerjaannya. Ia mengeluh telah bekerja terlalu keras selama ini, dan harus menggunakan obat agar bisa tidur sejenak. Pria kelahiran Afrika Selatan ini mengaku bahwa dia begitu kelelahan, karena bekerja keras hingga 120 jam per minggu. “Setahun belakangan ini benar-benar menjadi masa tersulit dan menyakitkan dalam karierku”, katanya kepada reporter New York Times.
Lebih jauh, Musk juga mengaku tidak masalah jika ada orang yang lebih baik yang ingin menggantikannya. Konon, Tesla saat ini dikabarkan sedang mencari eksekutif puncak yang bisa membantu Musk dalam pekerjaannya. “Jika kalian tahu orang yang bisa melakukan pekerjaan lebih baik, beritahu aku. Mereka bisa memilikinya”, kata salah satu tycoon muda tersebut. Akibat wawancara tersebut, keesokkan harinya saham Tesla merosot hingga 9%, yang berarti kekayaan Musk seketika itu juga berkurang sekitar US $ 1 miliar. Setelah berita itu tersebar, banyak pakar yang mendiskusikan kewajaran sikap dan perilaku Musk sebagai pemimpin puncak perusahaan besar. Sebagian mengatakan bahwa tidak semestinya Musk bertindak seperti itu, karena akan mengurangi keyakinan publik terhadap kemampuannya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar, karena bagaimanapun juga Musk adalah seorang manusia biasa dengan segala persoalan pribadi dan gejolak emosinya. Tanpa bermaksud untuk meramaikan polemik tersebut, saya mempunyai catatan menarik tentang “keluhan seorang pemimpin”. Konon, salah satu presiden kita yang terampil berbicara adalah K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun, walaupun cukup banyak bicara, ternyata Gus Dur tak pernah mengeluh. Ia rajin melontarkan guyonan, memberikan tausiah, bahkan juga terkadang mengungkapkan amarah dan kegusarannya. Dan menariknya, semua itu dilakukannya dengan enteng-enteng saja. Tanpa ada beban moral, apalagi beban pencitraan. Beberapa hari setelah beliau wafat, sebuah stasiun televisi mewawancarai asisten pribadi Gus Dur, yakni Sulaiman. Menurut Pak Sulaiman, sepanjang sembilan tahun menemani almarhum siang dan malam, ia praktis tidak pernah mendengar Gus Dur mengeluh. Didesak oleh reporter televisi tersebut, pada akhirnya Pak Sulaiman tetap tak mampu menemukan keluhan yang pernah terlontar dari mulut sang Kiai. Jikalau Gus Dur tak pernah mengeluh, apakah artinya ia tidak memiliki persoalan di kepalanya? Apakah karena “kesaktiannya”, beliau seakan steril dari persoalan hidup yang rajin menyambangi banyak orang? Secara pribadi, saya percaya, sekalipun memiliki berbagai talenta dan kharisma unik, Gus Dur tetaplah seorang manusia biasa. Ia tetap hidup berdampingan dengan persoalan, yang bisa membuatnya marah, kecewa dan bahkan juga nelangsa. Saya yakin, Gus Dur pun pasti pernah mengeluh, hanya dengan caranya sendiri; cara yang mencerminkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin sejati. Simpan keluhan Anda Perlu dicatat, seorang pemimpin sejati tetaplah sosok manusia biasa. Bukan makhluk setengah dewa, apalagi malaikat. Dengan demikian, ia pun tak lepas dari permasalahan hidup keseharian. Boleh jadi, karena kedudukan dan perannya, persoalan yang dihadapi juga jauh lebih besar dan kompleks. Hanya saja, seperti bunyi pepatah bijak, “The leaders keep their troubles in silence”. Kata sahabat rohani saya, kalaupun mengeluh..., “mengeluhlah di atas sajadah”; pada saat kita sembahyang khusyuk kepada Sang Ilahi. Seandainya segenap persoalan dihadapi dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, tak semestinya sang pemimpin perlu merasa galau dan mengumbar keluhan.
Memang hidup tak semudah yang dibayangkan. Namun sang sahabat melanjutkan pesannya, “Kalau persoalan yang dihadapi seorang pemimpin adalah akibat dari amanah yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya, memang sudah selayaknya pula jika persoalan tersebut dikembalikan kepada-Nya pula. Dan, itu berarti... mengeluhlah di atas sajadah ataupun di depan altar. Bukan ke mana-mana...” Tiba-tiba saya teringat ocehan Gus Dur, “gitu aja kok repot”. Di balik gurauan tersebut, tersimpan benteng spiritual diri yang kuat. ◆ Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga