Tanpa ekspor ore, proyek smelter sulit terealisasi



JAKARTA. Melemahnya perekonomian dunia dan gejolak rupiah yang berkepanjangan, membuat pengusaha tambang mineral panik. Mereka ragu bisa meneruskan pabrik pengolahan atau smelter. Apalagi, pemerintah keukeuh melarang ekspor bijih mentah.

Salah satu perusahaan yang meragu adalah produsen bauksit. Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan menyebut, beberapa perusahaan kini dalam kondisi tercekik sehingga terpaksa jualan aset, bahkan memecat karyawan agar bisa bertahan.

Makanya, mereka minta pemerintah turun tangan dengan memberikan insentif dan  rasa adil. "Masa Freeport dan Newmont dikasih izin ekspor, kami tidak," ujar  Erry yang juga direktur utama PT PT Harita Prima Mineral Abadi ini. Erry minta pemerintah segera memberikan kepastian atas insentif tax holiday dalam bulan ini.


Permintaan ini sejatinya adalah upaya pengusaha menagih janji dan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam program hilirisasi. "Kalau tidak ada kepastian pengusaha juga susah mendapat pinjaman bank," katanya.

Saat ini, dari 51 perusahaan yang tergabung dari asosiasi APB3I, baru lima perusahaan yang serius ingin membangun smelter.

Salah satunya Harita Prima  yang menargetkan smelternya rampung kuartal 1-2016. Adapun empat perusahaan lainnya masih belum jelas nasibnya. "Baru penandatanganan nota kesepahaman, masih menunggu izin gubernur dan dalam waktu dekat, ada yang mau groundbreaking," katanya.

Erry bercerita, pembangunan smelter di Kalimantan, Harita harus mengucurkan dana Rp 7 triliun. Saat bersamaan, gara-gara larangan ekspor bauksit sejak 12 Januari 2014, Harita harus menanggung kerugian sebesar Rp 545 miliar.

Sebagai catatan sepanjang 2013 sebelum ada larangan ekspor ore, Harita bisa mengekspor sebanyak 11 juta ton. "Ekspor terbesar Tiongkok dan Malaysia," ungkap dia.

Tidak hanya Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) yang merasa terbebani penutupan ekspor mineral.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mengklaim, saat ini beberapa pengusaha Apemindo tengah membangun smelter nikel dan semuanya proses pengerjaan, dengan kemajuannya beragam, dari 30%, 45%, sampai dengan 60%. "Kami minta ekspor dibuka," kata Ladjiman.

Usul revisi aturan

Dia menyebut, Peraturan Menteri ESDM No 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian sangat memberatkan pengusaha. Padahal untuk membangun smelter hingga pemurnian membutuhkan dana yang sangat besar. "Kami sudah kehabisan dana," katanya.

Ladjiman juga menyebut ada beberapa perusahaan yang pilih mengembangkan tambang nikel di Malaysia lantaran perizinan lebih relatif mudah. Ini mereka lakukan agar mendapatkan dana besar dan bisa membangun smelter di Indonesia. "Di sini malah banyak masalah," ungkap dia

Menanggapi ini, Said Didu Ketua Tim Nasional Percepatan Pembangunan Smelter Nasional mengakui banyak investor yang menahan untuk membangun smelter, lantaran rupiah yang melemah. Untuk itu, mesti ada terobosan untuk membuka ekspor kembali bagi perusahaan yang tengah membangun smelter. "Saya sudah membicarakan ini ke Menteri ESDM, hanya perlu merevisi Permen ESDM No 1/2014," kata dia beberapa waktu lalu ke KONTAN.

Dia bahkan mengakui, bahwa bila tidak terbangun seluruh smelter yang direncanakan kemungkinan besar akan terjadi kekacauan. Sebab, tahun 2017 batas dari ekspor mineral mentah sementara smelter belum jadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri