KONTAN.CO.ID - Bagi pemerintah, angka
tax ratio alias rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak hanya menjadi salah satu tolok ukur kinerja pendapatan negara.
Tax ratio juga penentu kemampuan belanja di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lagi pula pemerintah mendapatkan amanat untuk menjaga angka defisit tidak melebihi batasan 3% dari PDB. Sebagai contoh, apabila kapasitas pendapatan negara 12% dari PDB, maka kemampuan belanja dalam satu tahun tidak dapat melebihi 15% dari PDB. Selama satu dekade terakhir, nilai belanja negara terus meningkat dari sekitar Rp 1.042,1 triliun pada tahun 2010 hingga mencapai Rp 2.309,3 triliun pada tahun 2019. Meskipun secara nominal telah berlipat ganda, rasio belanja terhadap APBN sebenarnya cenderung stabil, realisasinya di tahun 2019 sekitar 15% dari PDB.
Dibandingkan dengan kelompok
emerging market and developing economies, rasio belanja Indonesia masih relatif lebih rendah. Secara rerata,
general government total expenditure kelompok negara berkembang selama periode 2010-2019 mencapai 30,1% dari PDB. Padahal, penerimaan perpajakan mencapai lebih dari 70% dari total pendapatan negara. Kebijakan pemerintah dalam memungut pajak tidak hanya berorientasi pada kebutuhan mengisi kas negara
(budgetair). Namun, pajak juga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, memberikan kemudahan bagi masyarakat dan dunia usaha. Misal pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas barang kebutuhan pokok dan pengenaan pajak penghasilan (PPh) tarif 0,5% bagi para pelaku usaha kecil. Adanya ketentuan khusus ini akan menyebabkan berkurangnya penerimaan pajak yang seharusnya diterima pemerintah. Pada 2019, penerimaan yang hilang--dikenal dengan belanja perpajakan --mencapai Rp 257 triliun, setara 1,62% dari PDB. Di samping kebijakan pajak, faktor lain yang mempengaruhi
tax ratio adalah masalah administrasi dan kepatuhan pembayar pajak. Administrasi pajak yang sederhana akan memudahkan masyarakat dalam memenuhi kewajibannya sehingga mendorong tingkat kepatuhan. Oleh karena itu, upaya peningkatan
tax ratio perlu dilakukan secara komprehensif, meliputi perbaikan kebijakan dan administrasi, sebagaimana arah reformasi perpajakan yang sedang berlangsung saat ini.
Meningkatkan tax ratio Tulisan ini akan mengelompokkan rasio pajak menjadi tiga bagian berdasarkan jenis pajak pusat: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan lainnya. Sebagai pembanding Vietnam karena posisinya sebagai "rival" magnet investasi regional dan memiliki
tax ratio relatif tinggi, sekitar 18% dari PDB.
Pertama, penerimaan PPh yang nilainya mencapai 4,9% dari PDB di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Vietnam (rasio 6,1%), selisih
tax ratio PPh Indonesia kurang lebih 1%. Dalam jangka menengah-panjang, rasanya mengharapkan tambahan
tax ratio 1% dari PDB tidak mustahil. Setidaknya terdapat dua pilihan yang dapat diambil untuk meningkatkan penerimaan dari PPh, yaitu memperluas cakupan pengenaan pajak atau mengenakan pajak yang lebih tinggi bagi kalangan atas. Berkaca pada usulan kebijakan di Amerika Serikat, pemajakan para
ultra-rich merupakan alternatif yang lebih dapat diterima masyarakat (
New York Times, 2019 ). Hal ini diwujudkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada paket
American Families Plan senilai US$ 1,5 triliun di 28 April lalu. Dalam paket kebijakan ini, upaya restorasi kelas bawah - menegah melalui berbagai stimulus fiskal akan didanai peningkatan pajak bagi individu berpenghasilan di atas US$ 400.000 dan keluarga yang menghasilkan lebih dari US$ 1 juta setahun. Sumber penerimaan berikutnya adalah
tax ratio PPN yang nilainya sekitar 3,5% dari PDB. Padahal, tax ratio PPN Vietnam mencapai 6,1% meskipun tarif umum PPN yang berlaku juga 10%. Memang, terdapat perbedaan struktural di Vietnam yang memungkinkan
tax ratio PPN lebih tinggi yaitu konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi dalam PDB dan kebijakan PPN yang cenderung ekspansif. Dari sisi kebijakan, Vietnam mengenakan tarif PPN khusus
(non-standard rate) untuk beberapa jenis barang kebutuhan umum. Selain itu, cakupan pelaku usaha yang wajib memungut PPN juga relatif lebih luas dibandingkan Indonesia. Berkaca dari Vietnam, perluasan cakupan pengenaan PPN sepertinya dapat menjadi pilihan misalnya dalam bentuk penambahan tarif baru untuk kelompok barang konsumsi tertentu maupun ekstensifikasi pelaku usaha. Namun karena sifat PPN yang non-diskriminatif atau dikenakan pada seluruh lapisan masyarakat, perlu adanya mitigasi dampak pengeluaran masyarakat yang bertambah akibat dikenakan PPN. Misalnya saja dalam bentuk transfer atau bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu, pilihan ekspansi PPN perlu dilakukan dengan hati-hati dan melalui perencanaan yang cermat. Efeknya pada kenaikan harga yang akan lebih banyak dirasakan kalangan bawah. Dari sisi kebijakan, potensi perbaikan administrasi PPN melalui pemanfaatan teknologi cukup terbuka. Ke depannya, pemanfaatan teknologi
smart contract dan
distributed ledger diperkirakan menjadi tren terkini mengurai kompleksnya administrasi PPN. Apabila didukung teknologi dan infrastruktur mumpuni, sistem pelaporan PPN dapat dilakukan secara otomatis dan
real-time sehingga meningkatkan akurasi dan mengurangi biaya kepatuhan bagi pembayar pajak. Dari sisi otoritas pajak, sistem
distributed ledger memungkinkan
audit trail yang andal sehingga proses verifikasi menjadi lebih efektif dan efisien. Selanjutnya penerimaan lainnya yang tiga tahun terakhir peranannya di Indonesia cenderung menyusut dengan rasio 2,6% dari PDB. Di Vietnam, penerimaan lainnya merupakan salah satu sumber pemasukan utama dengan sumbangan 6,2% dari PDB. Pemerintah Vietnam menerapkan banyak pungutan tambahan yang tidak semuanya dapat diadopsi. Namun, terdapat jenis pungutan yang cukup relevan dalam jangka menengah-panjang, yaitu
environment protection tax. Jenis pungutan atas produksi dan impor barang yang berdampak buruk bagi lingkungan ini baru dikenalkan oleh pemerintah Vietnam tahun 2010. Tahun 2019, realisasinya mencapai 1% dari PDB. Mengingat saat ini tren
green revolution dan isu
sustainability semakin berkembang, gagasan pemungutan pajak dalam konteks perlindungan lingkungan dapat menjadi salah satu bentuk komitmen pemerintah bertransisi ke ekonomi yang lestari. Peran pemerintah dalam menyediakan layanan dan barang publik masih dapat diperkuat dengan syarat kapasitas penerimaan pajak membaik. Peluang peningkatan
tax ratio masih cukup terbuka tapi butuh upaya perbaikan menyeluruh di sisi kebijakan, administrasi, dan kepatuhan pajak.
Transisi kebijakan pajak butuh dukungan masyarakat sebagai pembayar pajak. Maka perbaikan perpajakan juga perlu ada perencanaan dan mitigasi yang tepat. Penulis : Sukaryo Executive Assistant Kantor Pusat Ditjen Pajak Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti