Tantangan mencapai target inflasi



Pergerakan harga umum merupakan satu dari beberapa indikator krusial bagi perekonomian sebuah negara. Saat tendensi kenaikan terjadi, maka akan memicu inflasi. Jika kondisi yang sebaliknya, maka disebut dengan deflasi.

Tentu, ada dampak yang berbeda saat ekonomi tersengat inflasi maupun deflasi. Bagi negara-negara berkembang, fenomena pergerakan harga lebih mengarah pada inflasi. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju, yang bermasalah pada deflasi, seperti di Jepang.

Pemerintah dan bank sentral di negara-negara berkembang berupaya menjaga agar inflasi rendah dan stabil. Dengan demikian, ekonomi beroperasi efisien. Agen-agen di perekonomian pun akan mendapatkan manfaat dari efisiensi tersebut.


Pada bagian produsen, biaya produksi menjadi lebih murah, sehingga harga produk yang dihasilkan dapat bersaing baik di dalam maupun di luar negeri.

Sedangkan bagi konsumen, menikmati efisiensi tersebut melalui stabilitas harga kebutuhan sehari-hari. Inflasi tinggi menyebabkan konsumsi semakin mahal, sehingga pengeluaran semakin boros. Saat inflasi rendah, belanja pemerintah lebih terkelola dengan baik.

Artinya, regulator memiliki ruang lebih luas untuk meningkatkan alokasi ke belanja lain. Efisiensi juga terasa di sektor pembiayaan ketika inflasi bergerak lebih rendah dan stabil. Suku bunga dapat ditekan lebih rendah, karena nilai riil dari dana deposan relatif stabil. Muaranya terlihat dari peningkatan realisasi kredit perbankan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Ada beberapa faktor penentu inflasi, baik dari sisi penawaran (cost push inflation) maupun permintaan (demand pull inflation). Bank Indonesia (BI) (2018) menjelaskan beberapa faktor yang memengaruhi inflasi dari sisi penawaran, antara lain;

Pertama, depresiasi nilai tukar.Kedua, pengaruh inflasi eksternal, khususnya negara-negara mitra dagang. Ketiga, kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price).

Keempat, terganggunya jumlah barang karena faktor distribusi. Sementara itu, penyebab inflasi sisi permintaan karena tidak seimbangnya permintaan dan penawaran barang dan jasa.

Selain faktor permintaan dan penawaran, penggerakan kenaikan harga umum adalah ekspektasi. Ekspektasi inflasi cenderung adaptif (forward looking), sehingga berperan dalam pembentukan harga baru (meskipun faktor permintaan dan penawaran relatif terjaga).

Situasi tersebut terjadi saat momen-momen konsumsi tinggi seperti puasa, hari raya, maupun tahun baru. Momen lainnya bisa dilihat dari intervensi pemerintah di bidang harga.

Misalnya, pada 2018 pemerintah sempat menaikkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan langsung dibatalkan. Sedikit banyak harga-harga barang maupun jasa meningkat, karena ekspektasi masyarakat sudah mengarah pada kenaikan harga.

Pada publikasi ke publik, Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan inflasi kelompok pengeluaran (dari kelompok bahan makanan, hingga kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan). Lembaga tersebut juga menyajikan data disagregasi inflasi.

Disagregasi inflasi dibagi menjadi dua yaitu inflasi inti (core inflation) dan noninti. BI (2018) menjelaskan inflasi inti merupakan inflasi yang cenderung tetap (persistent component) dan bersumber dari faktor fundamental.

Untuk mengukur faktor nonfundamental, BPS menyusun inflasi noninti. Inflasi noninti terdiri dari inflasi bergejolak (volatile food) dan inflasi harga yang diatur pemerintah (administered prices).

Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi Indonesia cenderung menurun. Pada era 2000-an, inflasi bergerak di atas 5 % dan menipis pada periode 2010-an. Akan tetapi, kejutan-kejutan inflasi jamak terjadi. Sumber kejutan tersebut didominasi faktor global berupa kenaikan harga minyak dunia.

Pada 2008 inflasi umum (headline inflation) mencapai 11,06% , sedangkan inflasi inti, administered price, dan volatile food sebesar 8,29%, 15,99%, dan 16,48%. Selain 2008, periode inflasi tinggi terjadi pada 2013 dan 2014. Tahun 2008, 2013, dan 2014 merupakan kenaikan harga minyak dunia, yang diikuti penyesuaian harga BBM domestik.

Sementara itu, kenaikan harga minyak dunia 2018 (memang tidak setinggi 2008, 2013, 2014) tidak memaksa pemerintah menyesuaikan harga BBM domestik. Hasilnya, angka inflasi relatif rendah dan stabil.

Pada 2018, inflasi umum sebesar 3,13%. Sementara itu, inflasi inti mencapai 3,07%, inflasi volatile food dan administered price masing-masing 3,39 % dan 3,36%. Level tersebut mampu memenuhi target yang tertera di dokumen pemerintah dan Bank Indonesia. APBN-2018 dan RPJMN 2015-2019 menetapkan target inflasi umum 3,5% dan 4%. Bank Indonesia mematok inflasi pada interval 3,51%. Akan tetapi, realisasi inflasi 2018 masih jauh di atas negara-negara sekawasan.

Inflasi Thailand pada 2018 diprediksi sekitar 0,92%, Malaysia 1%, Vietnam 3,8%. Inflasi Indonesia hanya lebih baik dari Filipina (4,95%), dan Myanmar (6%) (Statista, 2019).

Ke depan, ada beberapa tantangan untuk mencapai inflasi rendah dan stabil. Pertama, faktor harga energi masih mendominasi inflasi di Indonesia. Status negara importir minyak selalu membayangi pergerakan inflasi nasional.

Tahun ini, inflasi diproyeksi bergerak lebih landai karena kecenderungan penurunan harga minyak dunia. Produksi minyak cenderung meningkat karena beberapa faktor seperti pengurangan sanksi Trump ke Venezuela dan Iran. Selain itu, Arab Saudi tetap menggenjot produksi minyak untuk memenuhi anggarannya. Kenaikan produksi saat permintaan relatif stabil akan mendorong koreksi harga ke bawah.

Kedua, stabilitas inflasi volatile food ditentukan oleh permintaan dan penawaran bahan-bahan makanan. Pada beberapa kondisi, pengelolaan inflasi pangan seringkali lewat jalan pintas, misalnya membuka keran impor.

Kegaduhan tersebut terjadi tahun lalu, pada impor beras. Menjaga inflasi lewat impor sama saja mematikan ekonomi domestik. Apalagi dilakukan tanpa perencanaan matang dan ketika panen.

Ketiga, pada inflasi inti, tantangan hadir lewat depresiasi Rupiah karena memburuknya kinerja ekonomi internasional. Pada 2018 misalnya, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 7,5 miliar; pada akhirnya meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan.

Defisit ini bermakna jumlah dollar relatif lebih rendah dari kebutuhan, sehingga menekan nilai Rupiah. Akumulasinya terlihat dari tekanan pada inflasi inti.

Abdul Manap Pulungan Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi