Tantangan Perbankan di Era Pemerintahan Baru Prabowo Subianto



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai tantangan di industri perbankan menjadi bagian dari pekerjaan rumah pemerintahan baru. Sebagai lembaga intermediasi, pertumbuhan kredit dari industri perbankan perlu dijaga untuk mewujudkan cita-cita pertumbuhan ekonomi 8% yang menjadi visi Presiden Prabowo Subianto.

Rasa-rasanya, industri perbankan memang telah menjadi salah satu fokus pemerintah baru ini. Bagaimana tidak, Presiden Prabowo bahkan kini memiliki Utusan Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Perbankan yang dijabat oleh Setiawan Ichlas.

Jika melihat kinerja perbankan beberapa tahun belakangan, sejatinya kinerja pertumbuhan kredit perbankan sedang dalam tren bagus. Sebab, dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan kredit perbankan tumbuh dua digit. Jika target pertumbuhan kredit 10%-12% tahun ini tercapai, maka ini menjadi yang pertama dalam sepuluh tahun terakhir, kredit tumbuh dua digit selama tiga tahun berturut-turut.


Memang, dalam sepuluh tahun terakhir, kredit perbankan mengalami pasang surut. Terlebih, masa pandemi Covid-19 membuat kredit hanya tumbuh kecil bahkan sempat terkoreksi pada tahun 2020 sekitar 2,41%.

Baca Juga: Bank-Bank Masih Selektif Menyalurkan Kredit Pemilikan Apartemen

Sebaliknya, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan justru mengalami sedikit perlambatan. Terakhir, di tahun 2023, DPK perbankan bahkan hanya tumbuh 3,73% YoY menjadi yang paling lambat selama sepuluh tahun terakhir.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengungkapkan bahwa pertumbuhan kredit ke depan sejatinya akan sangat tergantung pada kemampuan daya beli masyarakat. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah baru pun bisa jadi menjadi sentimen positif bagi jalannya fungsi intermediasi perbankan.

Kita juga enggak expect, wah, harus ada policy yang langsung mendorong kredit ya. Karena kredit bagaimanapun juga tergantung daya beli,” ujar Jahja, Rabu (23/10).

Sebagai informasi, BCA baru saja merilis kinerja terbarunya per September 2024 dengan pertumbuhan kredit 14,5% secara tahunan (YoY), lebih tinggi dari industri yang hanya tumbuh di kisaran 10%. Di mana, DPK BCA tumbuh 3,4% YoY dengan nilai Rp 1.125 triliun.

Baca Juga: Ini Sektor Prioritas Bank Mengejar Target Kredit

Jahja pun melihat pertumbuhan kredit di kuartal terakhir 2024 nanti kemungkinan besar tidak mengalami pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan hasil kuartal III-2024 ini. Sebab, ia melihat pada kuartal akhir tahun lalu, kredit mengalami peningkatan yang agresif dan pada tahun ini lebih moderat.

DPK terutama tabungan dan giro itu tetap menjadi perhatian kita. Kualitas kredit juga itu menjadi perhatian kita,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Royke Tumilaar mengungkapkan bahwa pihaknya optimistis bahwa program-program pemerintah baru akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di mana, itu pun juga akan mendorong kredit perbankan.

“Kalau di eksekusi dengan baik dan spending pemerintah lancar,” ujar Royke.

Baca Juga: Presiden Prabowo Lantik Ketua MA, Staf Khusus hingga Kepala Badan, Berikut Daftarnya

Ditambah, ada harapan dari Royke agar Bank Indonesia pun juga turut menurunkan suku bunga acuan secara agresif. Sebab, menurutnya, itu akan membantu likuiditas perbankan untuk memenuhi permintaan kredit.

Bukan tanpa sebab, saat ini BNI sedang bergulat dengan tingginya suku bunga yang membuat beban bunga membengkak. Alhasil, bank berlogo 46 ini mencatatkan penurunan pendapatan bunga bersih sekitar 6,82% YoY menjadi Rp 25,56 triliun per Agustus 2024.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede pun mengungkapkan bahwa kredit perbankan akan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Di mana, jika kondisi perekonomian bisa akan memberi dampak positif ke penyaluran kredit. 

Hal tersebut berdasarkan tren historis data yang ada dalam 10 hingga 20 tahun terakhir ini, pertumbuhan kredit justru dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Ini tergambar ketika pandemi COVID-19 melanda dan memaksa meniadakan aktivitas perekonomian, maka permintaan kredit pun cenderung menurun tajam. 

Baca Juga: Tiga Bank Uji Coba Inovasi Skema Credit Scoring KUR, Ini Kriteria Debiturnya

Ia pun berpendapat jika perbankan ditargetkan untuk mencapai pertumbuhan kredit yang cukup tinggi namun kondisi risiko perekonomian masih cukup tinggi karena perlambatan ekonomi global dan penurunan daya beli kelas menengah, maka terdapat potensi risiko peningkatan NPL ke depannya.

Oleh karenanya, Josua menyarankan agar pemerintah menetapkan sektor prioritas yang perlu mendapatkan dukungan pembiayaan dari sektor keuangan terutama perbankan. Hal tersebut disertai dengan arahan agar bank tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.

“Untuk pertumbuhan kredit tahun 2025 diperkirakan masih akan berkisar 10% hingga 12% dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan berada di kisaran 5,1% hingga 5,2%,” ujar Josua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati