Tapak pertumbuhan ekspor sepatu lambat



JAKARTA. Kinerja ekspor sepatu kurang kencang. Mengutip data Asosiasi Persepatuan Indonesia, periode Januari-April tahun ini kinerja ekspor sepatu hanya tumbuh 4,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar US$ 1,5 miliar.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Sigit Murwito mengungkapkan, pertumbuhan ekspor ini jauh menurun dibandingkan tahun 2014-2015, yang mencapai 7%-8%. Ini kan jadi ancaman untuk kami. Daya saing produsen di Indonesia terbilang lemah dan belum ada perbaikan yang signifikan, ujarnya kepada KONTAN, Minggu (23/7).

Sigit bilang, terdapat beberapa persoalan yang menyebabkan kinerja ekspor sepatu Indonesia terus melandai. Pertama, krisis global yang membuat permintaan menurun. Kedua, ketatnya persaingan dengan negara-negara produsen sepatu lain, seperti Vietnam dan China.


Dibanding Vietnam, produktivitas tenaga kerja produsen sepatu lokal lebih rendah. Dalam sepekan, tenaga kerja di Vietnam dapat bekerja hingga 48 jam, sementara di Indonesia kurang dari 40 jam.

Ketiga, persoalan logistik, kepabeanan dan energi masih menjadi masalah besar, sehingga menyebabkan produksi berbiaya tinggi. Sebanyak 60%-70% bahan baku sepatu masih diperoleh melalui impor. Bahkan, seringkali impor bahan baku ini tertahan di bea cukai untuk masuk karantina sehingga membuat proses produksi menjadi terbatas.

Keempat, kehadiran pemain-pemain baru, seperti Myanmar dan Kamboja sebagai produsen sepatu turut memperparah keadaan. Kamboja yang sebelumnya tidak pernah masuk peta persaingan eksportir sepatu, di tahun 2016 melesat masuk ke 15 besar.

Hingga akhir tahun, Sigit memproyeksikan, kinerja ekspor akan mencapai US$ 4,87 miliar, atau tumbuh di kisaran 6% dibanding penjualan tahun lalu sebesar US$ 4,6 miliar. Saat ini permintaan sepatu terbesar berasal dari Amerika dan Eropa.

Untuk melakukan perluasan pasar, produsen sepatu lokal juga sedang gencar membidik pasar Timur Tengah (Timteng), yang potensinya besar dan secara pendapatan per kapita negara juga tinggi. Menurut Sigit, walaupun secara kuantitas sepatu yang terjual tidak besar, secara nominal negara-negara di Timur Tengah berkontribusi tinggi.

Di Timur Tengah jenis sepatu yang diminati berbahan baku kulit. Sementara di pasar Eropa lebih berminat pada sepatu jenis olahraga. Di negara-negara Eropa permintaan banyak sepatu olahraga yang harganya sekitar US$ 13. Sedangkan di Timur Tengah seperti Dubai, lebih menyukai sepatu kulit yang harganya hingga US$ 25, ujar Sigit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini