Tapering diproyeksi tidak memberi dampak signifikan ke pasar SBN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah menanti beberapa pekan, akhirnya pelaku pasar mendapatkan jawaban yang pasti mengenai sikap Federal Reserve (The Fed) terkait tapering. Kepastian didapat setelah The Fed mengumumkan tapering akan resmi dilakukan mulai bulan ini pada usai pertemuan FOMC di tengah pekan ini.

Hal ini menjadi pengetatan kebijakan moneter pertama yang dilakukan The Fed setelah sejak pandemi Covid-19 melanda. Selain stimulus moneter yang terus digelontorkan, bank sentral Amerika Serikat (AS) ini juga memangkas suku bunga acuan hingga hampir 0%, dan memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar per bulan.

Namun, dengan ekonomi AS yang semakin pulih, The Fed merasa 'dosis' stimulus itu sudah bisa dikurangi. Sebagai awalan, pembelian aset dipangkas US$ 15 miliar menjadi US$ 105 miliar.


"Dengan mempertimbangkan kemajuan substansial yang terjadi, Komite memutuskan untuk mulai mengurangi besaran pembelian aset sebanyak US$ 10 miliar untuk obligasi pemerintah dan US$ 5 miliar untuk aset beragun kredit properti (mortgage-backed securities),” tulis The Fed dalam keterangannya.

Baca Juga: Target sudah terpenuhi, pemerintah batalkan enam lelang SBN di sisa tahun ini

Alhasil, mulai bulan ini, komite memutuskan melakukan pembelian obligasi pemerintah senilai US$ 70 miliar dan mortgage-backed securites senilai US$ 35 miliar. Sementara pada Desember, nilai pembelian obligasi pemerintah akan menjadi US$ 60 miliar, sedangkan mortgage-backed securities US$ 30 miliar.

Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menilai kebijakan tapering ini tidak akan banyak memberikan dampak yang berarti ke pasar obligasi Indonesia, khususnya surat berharga negara (SBN). Menurutnya, sejauh ini tidak terlihat adanya sinyal pasar yang merespons secara negatif dan berlebihan. Hal ini berbeda dengan tapering yang terjadi pada 2013 silam.

“Komunikasi The Fed yang baik membuat pasar sudah memberikan ekspektasi terhadap tapering ini. Jadi, untuk tahun ini, hanya tapering yang terjadi. Berbeda dengan 2013, di mana tapering terjadi, lalu diiringi dengan tantrum alias gejolak yang terjadi di pasar karena serba mendadak,” kata David ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/11).

Lebih lanjut, David melihat pasar sejauh ini sudah priced-in dengan sentimen tapering ini. Tercermin dari berbagai indeks saham Amerika Serikat yang justru mencatatkan penguatan.

Senada, Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Ezra Nazula mengungkapkan bahwa tidak ada kejutan dari hasil rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Pasar pun sudah price in terhadap efek tapering oleh the Fed sehingga pasar SUN akan tetap suportif dan pergerakan yield lebih stabil

“Apalagi dengan perubahan dinamisme pasar di mana investor lokal yang lebih mendominasi pasar dan dengan likuiditas dalam negeri yang tinggi. Terlebih, supply obligasi yang relatif minim hingga akhir tahun turut menjadi katalis positif,” jelas Ezra.

Baca Juga: Bukan tapering, ini sebab investor asing keluar dari SBN

Asal tahu saja, pemerintah baru saja mengumumkan telah membatalkan enam lelang SBN yang tersisa pada sisa akhir tahun ini karena pembiayaan APBN yang bersumber dari lelang SBN sudah terpenuhi.

Sementara untuk SBN, David meyakini karena kondisi yang berbeda dari 2013 silam, pasar tidak akan diliputi kekhawatiran. Saat itu, current account deficit tercatat di atas 3%, sedangkan kini malah mengalami surplus. Apalagi indikator ekonomi Indonesia juga perlahan mulai membaik.

“Jadi ga ada alasan investor untuk melakukan aksi jual karena secara fundamental kita cukup baik. Jika pengendalian Covid-19 bisa konsisten baik, konsumsi masyarakat nanti meningkat, ekonomi pulih, kita punya posisi yang kuat. Ditambah lagi, secara yield, SBN ini menarik sekali sebenarnya,” ungkapnya.

Sementara Ezra memperkirakan, yield untuk obligasi negara acuan tenor 10 tahun masih bisa menembus level 6% dan turun ke kisaran 5,5-5,75%.

Selanjutnya: Meleset dari target, ekonomi Indonesia cuma tumbuh 3,5% di kuartal III-2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari