KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan nilai tukar rupiah dan sejumlah mata uang di kawasan pada pekan depan diprediksi masih dibayangi oleh risiko
tapering off dari kebijakan Federal Reserve. Seperti diketahui, pernyataan The Fed usai FOMC Meeting di tengah pekan lalu cenderung
hawkish karena bank sentral menyebut pengetatan kebijakan dapat dilakukan lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal tersebut membuat dolar AS tampil perkasa. Akibatnya, mata uang di kawasan, termasuk rupiah, tertekan.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menilai, saat ini rupiah dan beberapa mata uang
emerging market kurang menarik. Selain dolar AS yang perkasa, imbal hasil obligasi AS yang naik lagi membuat gap dengan obligasi negara berkembang menyempit. Padahal saat ini, obligasi di kawasan
emerging market dilirik karena memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Namun, jika gap
yield antara obligasi negara berkembang dengan US Treasury menipis, otomatis pasar akan lebih memilih kembali ke pasar AS.
Baca Juga: Dolar perkasa, seluruh mata uang di Asia loyo di pekan lalu “Salah satu
emerging market adalah pasar Asia, termasuk Indonesia. Ketika isu
tapering off mencuat, maka nantinya akan juga diikuti kenaikan suku bunga the Fed,” kata dia kepada Kontan.co.id, Sabtu (19/6). Alwi menilai, apabila
tapering off dilakukan, yang akan bertahan adalah negara yang memiliki cadangan devisa kuat, guna menstabilkan mata uang. Selain itu, negara-negara dengan orientasi ekspor menurutnya akan lebih diuntungkan karena produk-produk mereka lebih leluasa bersaing di pasar.
Di saat AS melakukan
tapering, ada beberapa negara Asia yang masih berjuang mengatasi Covid-19, negara-negara tersebut masih membutuhkan kebijakan akomodatif, termasuk pembelian atau pun pemangkasan suku bunga. “Yang lebih penting adalah negara yang bisa keluar terlebih dahulu dari krisis Covid-19, itu yang lebih bisa bertahan,” pungkas Alwi. Dengan kondisi saat ini, Alwi melihat, bagi sebagian orang yang membutuhkan kebutuhan valuta asing (valas) dapat membelinya dari sekarang, tetapi sebaiknya jangan terlalu panik. Dengan adanya
panic selling, menurutnya akan semakin memperburuk nilai tukar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari