Target industri keramik: Tumbuh 15%–20%



JAKARTA. Pelaku industri keramik mulai optimistis menatap penjualan keramik tahun 2017 ketimbang tahun 2016. Mereka melihat proyeksi positif pertumbuhan properti di tahun 2017 yang diharapkan bisa menjadi obat kuat bagi industri keramik.

Elisa Sinaga, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), memproyeksikan, penjualan keramik tahun 2017 berpotensi naik dobel digit dibandingkan realisasi penjualan tahun 2016 yang di kisaran 350 juta meter persegi (m²).

"Bisa naik 15% sampai 20%," kata Elisa kepada KONTAN, Kamis (29/12/2016).


Dengan proyeksi tersebut, penjualan industri keramik diproyeksikan naik menjadi 402,5 juta m²–420 juta m². Meski naik signifikan, Elisa bilang, proyeksi kenaikan penjualan masih di bawah kapasitas produksi keramik Indonesia sebesar 550 juta m².

Asal tahu saja, kinerja industri keramik tahun 2016 jauh dari memuaskan. Dari target penjualan 400 juta m², pencapaian baru 350 juta m². “Utilisasi pabrik tahun 2016 baru 60%,” kata Elisa.

Kesulitan industri keramik mencapai target penjualan, salah satunya, karena daya beli melemah. Meski ada pelonggaran aturan loan to value (LTV), kebijakan itu belum bergigi. Begitu pula dengan kebijakan pengampunan pajak, yang efeknya belum terasa di tahun 2016.

Efek kebijakan pemerintah tersebut diproyeksikan terasa tahun ini. Efek kebijakan tersebut pertama kali dinikmati industri properti, setelah itu baru industri keramik . Selain efek kebijakan pelonggaran LTV dan tax amnesty, Elisa berharap, pemerintah segera menurunkan harga gas industri keramik.

Tak sekadar menurunkan harga, Elisa berharap ada acuan harga gas yang sama antardaerah. Adapun harga gas yang didambakan Asaki ada di harga US$ 7 per mmbtu. Sebagai gambaran, harga gas industri keramik di Thailand antara US$ 7 mmbtu– US$ 8 mmbtu. Bahkan, harga gas untuk industri keramik di Malaysia bisa lebih murah, yakni US$, 5,6 per mmbtu.

di dalam negeri, Elisa bilang, anggotanya mendapatkan harga gas sekitar US$ 9,17 per mmbtu. Khusus di Jawa Timur seharga US$ 8,06 per mmbtu. "Karena produksi energi lebih mahal, berakibat kepada daya saing kami," kata Elisa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie