KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun 2024 yang diajukan pemerintah kepada Dewan perwakilan Rakyat (DPR) RI dinilai kurang realistis. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, target pertumbuhan ekonomi di 2024 sebesar 5,3% hingga 5,7% masih terlalu optimistis. Manurutnya, ekonomi masih bisa tumbuh sebesar 5% saja sudah cukup baik di tengah tantangan dan permasalahan eksternal Dia mengungkapkan, terdapat beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Diantaranya, masih besarnya ketidakpastian perekonomian dari negara-negara mitra dagang utama. Baik itu dari Amerika Serikat (AS), Eropa maupun Tiongkok.
“Terutama dari Tiongkok, ada banyak tantangan di dalam industri manufaktur, sektor jasa, konsumsi domestik, yang ada di Tiongkok bisa sangat mmengaruhi kinerja investasi dan perdagangan Indonesia,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (19/5).
Baca Juga: Pendapatan Negara Diperkirakan Mencapai 11,81%-12,28% dari PDB pada 2024 Faktor lainnya yaitu, dari sektor keuangan dengan masih ada tantangan efek dari kenaiakan suku bunga The Fed. Meskipun di 2024 diperkirakan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuannya lagi, tetapi efek dari kenaikan suku bunga tahun ini masih akan terasa sampai tahun depan. Efek tersebut akan berpengaruh pada penyesuaian bunga-bunga pinjaman perbankan domestik, berpengaruh pada konsumsi rumah tangga dan berpengaruh pada tingkat belanja di sektor ritel dan transportasi, serta berbagai lapangan usaha lainnya. Adapun untuk menekan angka kemiskinan, Bhima mengatakan pemerintah butuh menggelontorkan dana yang lebih tinggi serta refokusing program yang lebih besar. Pemerintah menargetkan angka kemiskinan akan berada di rentang 6,5% hingga 7,5% pada 2024. Menurut Bhima, agar target angka kemismkinan dapat tercapai di 2024, dibutuhkan anggaran setidaknya 5% dari produk domestik bruto (PDB). “Itu pun kemiskinan versi BPS. Jika menggunakan versi bank dunia, upaya menurunkan angka kemiskinan bisa lebih banyak anggaran yang dibutuhkan. Sementara target kemiskinan yang dipasang cukup ambisius, sehingga kecil kemungkinan tercapai,” ujarnya. Adapun untuk menurunkan tingkat pengangguran pada kisaran 5,0% hingga 5,7%, dibutuhkan kualitas investasi yang masuk ke dalam negeri. Sebab meski realisasi investasi yang masuk meningkat, tetapi pada kenyataanya serapan tenaga kerjanya makin rendah. Hal ini karena investasi yang masuk cenderung masuk ke sektor padat modal. Untuk itu, kata Bhima, pemerintah perlu mendorong industri manufaktur terutama yang sempat melemah karena tekanan permintaan di negara ekspor tradisional. Pengalihan produk manufaktur ke pasar domestik yang dibarengi dengan pembatasan impor barang jadi merupakan solusi penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Lebih lanjut, terkait pokok-pokok kebijakan fiskal, Bhima pesimis defisit anggaran yang ditargetkan 2,16% sampai 2,64% dari PDB dapat tercapai pada tahun depan.
Berkaca dari tahun politik sebelumnya, biasanya pemerintah ada kecenderungan kebijakan fiskalnya lebih populis yang artinya anggaran bansos akan dinaikan, dan anggaran infrastruktur akan dikebut, sehingga akan berdampak pada defisit anggaran. Menurut Bhima, idealnya defisit fiskal tahun depan ditargetkan sebesar 2,5% hingga 2,7% PDB. “Masih dibutuhkan belanja APBN sebagai shock absorber karena situasi global masih belum pasti,” imbuhnya.
Baca Juga: Kebijakan Belanja Negara di 2024 Diarahkan untuk PSN dan Proyek Prioritas Strategis Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat