Target pajak momok bagi APBN



JAKARTA. Setelah melewati pembahasan lama, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017 menjadi UU lewat rapat paripurna.

APBN ini bisa dibilang gambaran yang akan mewakili kebijakan Menteri Keuangan (menkeu) Sri Mulyani di bidang fiskal. Dalam pendapat akhir pemerintah atas RUU APBN 2017 yang disampaikan dalam sidang paripurna, Rabu (26/10), Sri Mulyani menegaskan bahwa anggaran yang disusunnya tetap menggunakan prinsip efisiensi.

Ia juga hanya mengakomodir belanja yang bersifat penting. Alasannya, kondisi ekonomi tahun depan diperkirakan masih sulit. Ini terlihat dari penentuan target pertumbuhan ekonomi hanya 5,1%.


"Realokasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) hanya akan diarahkan pada belanja yang produktif dan mendesak," ujar Sri Mulyani.

Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati anggaran belanja K/L hanya sebesar Rp 763,6 triliun, atau naik Rp 5,2 triliun dari RAPBN. Namun, jumlah ini turun dari anggaran belanja K/L di APBN-P 2016 yang sebesar Rp 767,8 triliun.

Meski pemerintah mengklaim sudah menyusun anggaran seefisien mungkin, risiko fiskal masih cukup besar. Salah satunya adalah pemerintah dituntut untuk memaksimalkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, meskipun alokasi anggaran belanja sudah lebih rendah dari APBN-P 2016, bukan berarti itu cukup membuat pemerintah aman. Sebab, risiko belanja pemerintah itu masih ditopang oleh target penerimaan perpajakan.

Josua menilai, target penerimaan perpajakan tahun 2017 masih bisa meleset, meskipun pemerintah sudah cukup berhasil melaksanakan program amnesti pajak. "Jika pemerintah tidak bisa memanfaatkan keberhasilan itu dengan mulai mereformasi sistem perpajakan, program amnesti pajak yang sudah jalan menjadi percuma," tuturnya. \

Sebagai gambaran, target penerimaan perpajakan dalam APBN 2017 adalah sebesar Rp 1.498,87 triliun atau naik dari RAPBN 2017 yang sebesar Rp 1.495 triliun. Namun demikian, jumlah ini lebih rendah dari APBN-P 2016 yang sebesar Rp 1.539,2 triliun.

Menjaga daya beli

Josua mengingatkan, tahun depan, pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Alhasil, "Jangan sampai ruang fiskal terkendala," tambahnya.

Sebab, ke depan, banyak faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari belanja pemerintah atau goverment spending, seperti konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) alias investasi swasta.

Di sisi lain, anggota DPR dari fraksi Gerindra Kardaya Warnika berharap, pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat melalui APBN 2017. Sebab, "Jika daya beli masyarakat membaik, konsumsi masyarakat juga akan meningkat," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie