Target Penerimaan Pajak Cukup Berat, Ditjen Pajak Harus Kerja Keras



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja penerimaan pajak selama empat bulan pertama tahun ini masih mengalami kontraksi alias penurunan.

Seretnya penerimaan pajak pada tahun ini disebabkan penurunan harga komoditas yang mempengaruhi kinerja perusahaan di Indonesia. Padahal, kebutuhan belanja negara pada tahun ini meningkat cukup signifikan.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan perpajakan hingga 30 April 2024 mencapai Rp 719,9 triliun atau turun 8% secara year on year (YoY). 


Sementara, untuk penerimaan pajak sendiri juga mengalami kontraksi 9,3% menjadi Rp 624,2 triliun. Angka ini baru setara 31,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Penerimaan pajak bukan hanya kali ini saja mengalami kontraksi. Pada Januari 2024, setoran pajak mengalami penurunan 8,07%. Kemudian pada Februari dan Maret 2024 masing-masing turun 3,9% dan 8,8%.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Lesu, PPh Masih Jadi Andalan pada April 2024

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengakui untuk mencapai target penerimaan pajak pada tahun ini akan cukup berat. Jika pada kuartal II-2024 penerimaan pajak masih seret, perlu tindakan luar biasa (extraordinary measures) untuk mengejar target penerimaan pajak.

Mau tak mau, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mampu meningkatkan penerimaan pajak yang cukup signifikan dalam jangka pendek.

"Kalau hanya mengandalkan extra effort dari otoritas pajak, saya kira sulit. Sekali lagi, opsi ini harus diambil apabila ingin mengejar target penerimaan," kata Fajry kepada Kontan.co.id,  

Kendati begitu, Fajry menilai, opsi kebijakan yang ada saat ini memang kurang populis. 

"Balik lagi, ini akan menjadi pilihan sulit bagi pemerintahan yang sekarang dengan sisa masa jabatannya," katanya.

Dengan penerimaan pajak yang masih seret, Fajry bilang, pemerintah bisa memilih mengurangi spending agar defisit tetap bisa terjaga dan tidak perlu meningkatkan pembiayaan dari utang.

"Namun saya berharap ke depan berbagai indikator perekonomian terus membaik dan penerimaan khususnya dari PPh Badan juga bisa kembali tumbuh positif," terang Fajry.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat berpendapat, untuk menambal penerimaan yang lagi seret, selain efisiensi dan efektivitas anggaran maka pemerintah perlu menggali potensi penerimaan di berbagai sektor.

"Perpajakan sudah pasti tetap melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, mengikuti tren bisnis yang ada saat ini," kata Ariawan.

Tidak hanya itu, potensi penerimaan dari perusahaan plat merah juga harus dioptimalkan dengan cara menjaga kinerja BUMN agar institusi tersebut tidak rentan dimanfaatkan untuk politik atau kepentingan politik kelompok tertentu.

"Penerimaan dari sektor BUMN penting untuk menopang APBN. Tahun lalu sekitar 21% dari total penerimaan negara. Mudah-mudahan dari BUMN pemerintah bisa menggenjot hingga 25% dalam  pemerintahan ke depan," katanya.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu mengoptimalkan implementasi pelaksanaan Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) dalam menyederhanakan sistem perpajakan sehingga menjadi alat efektif yang berkontribusi terhadap penerimaan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Turun di Awal Tahun Jadi Sinyal Peringatan Bagi Otoritas Pajak

Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat, sebenarnya melihat daya beli masyarakat masih relatif terjaga hingga Mei 2024 sehingga tidak terlalu mempengaruhi penerimaan pajak.

Hal ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu, serta penjualan ritel yang masih tumbuh resilien.

Dari sisi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pun terlihat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih dapat tumbuh di kisaran 4,9% YoY pada kuartal I-2024 lalu.

"Tingginya inflasi pangan dalam satu semester terakhir memang berpotensi menggerus daya beli masyarakat. Namun demikian, kami lihat dampaknya cenderung bersifat temporer untuk tahun tahun 2024 terutama karena risiko El-Nino yang sudah mulai berkurang," kata Josua.

Menurutnya, berkurangnya daya beli masyarakat karena inflasi pada dasarnya mempengaruhi penerimaan PPN dari sisi APBN.

"Sejalan dengan daya beli masyarakat yang masih relatif resilien, dampaknya terhadap PPN akan cenderung terbatas terutama  untuk di tahun 2024," imbuhnya.

Terkait dengan penambahan penerimaan untuk mengejar target pada tahun ini, Josua menyarankan pemerintah perlu memperluas formalisasi pelaku usaha dan tenaga kerja dengan harapan dapat memperluas cakupan penerimaan pajak.

"Selain itu, pemerintah juga dapat mengenakan pajak untuk individu dengan kekayaan yang sangat tinggi, dengan harapan dapat berperan dalam redistribusi pendapatan di Indonesia," kata Josua. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat