Target Penerimaan Pajak Tahun Depan Penuh Tantangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA  Di tengah ancaman resesi global dan pelemahan daya beli masyarakat, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih optimistis untuk mengejar target penerimaan pajak di tahun depan. Pasalnya, untuk di tahun depan saja perekonomian dunia diperkirakan akan  gelap gulita sehingga akan berefek kepada kinerja ekspor impor di dalam negeri.

Asal tahu saja, penerimaan pajak pada tahun depan ditargetkan sebesar Rp 1.718 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas yang ditargetkan sebesar Rp 61,4 triliun, PPh non migas Rp 873,6 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Rp 743 triliun, dan Pajak Bumi dan Bangunan Rp 31,3 triliun dan pajak lainnya Rp 8,7 triliun.

Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, ada dua hal yang menjadi perhatian dalam mengejar target penerimaan pajak tahun depan. Pertama, tahun 2023 tidak ada previlage ulang seperti yang terjadi di tahun ini.


Baca Juga: Optimistis dan Waspada Kejar Target Penerimaan Pajak 2023

Di mana mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) terdapat dua keuntungan, yatitu terjadinya kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dan berlakunya program pengungkapan sukarela (PPS) pada bulan Januari hingga Juni 2022.

"Kebijakan ini membuat tren penerimaan pajak akan tinggi dibandingkan tahun sebelumnya," ujar Ajib kepada Kontan.co.id, Selasa (4/10).

Kedua, Ajib mengatakan bahwa potensi pertumbuhan ekonomi di tahun depan tidak akan seagresif di tahun ini. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi ini di tahun ini secara agregat bisa tumbuh di atas 5%. 

Sementara di tahun depan, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan cenderung melambat sehingga akan berefek kepada penerimaan pajak.

Untuk itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, pemerintah perlu memperkuat strategi untuk mengejar target penerimaan pajak di tahun depan. 

Ia merekomendasikan beberapa hal berikut, yaitu pemerintah dapat mengoptimalkan pertukaran data melalui Automatic Exchange of Information (AEOI).

Sejalan dengan hal tersebut, bagi harta yang terlapor melalui AEOI namun tidak diikutsertakan dalam program PPS dapat menjadi sasaran optimalisasi peneriman pajak.

"Di sisi lain, kami apresiasi pemerintah yang menjadi salah satu insiator Asia Initiative Declaration yang bertujuan mendorong transparansi untuk tujuan perpajakan," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (4/10).

Baca Juga: Ekonom Ini Sebut Pemerintah Belum Siap Terapkan Pajak Karbon Tahun Ini, Mengapa?

Fajry menambahkan, pasca UU HPP, optimalisasi dapat dilakukan melalui perluasan basis pajak. Pengalihan fasilitas pengecualian ke pembebasan dalam UU HPP dapat dijadikan titik awal dalam perluasan basis pajak disamping integrasi data perpajakan yang telah berlangsung.

Sementara itu, menurut Fajri, beberapa aturan turunan yang belum dikeluarkan dan diimplementasikan seperti pajak karbon juga dapat menjadi pendorong penerimaan pajak di tahun depan. Tidak hanya itu, reformasi di bidang administrasi dan organisasi juga harus dilakukan secara berlanjut.

"Pasca pelaksanaan PPS, diharapkan wajib pajak yang ikut PPS akan terus patuh. Namun tak hanya sebatas kepatuhan formal sehingga dapat mendorong penerimaan pajak yang berkelanjutan. Otoritas pajak perlu memastikan hal tersebut," kata Fajry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi