KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek penerimaan perpajakan diperkirakan membaik di 2024 seiring dengan membaiknya perekonomian. Meski akan membaik, namun masih terdapat risiko akibat ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan pada tahun depan di kisaran Rp 2.280,3 triliun hingga Rp 2.355,8 triliun. nilai tersebut meningkat dari target penerimaan perpajakan tahun ini yang sebesar Rp 1.718 triliun. Mengutip dokumen Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2024, pertumbuhan ekonomi global tahun 2024 diperkirakan kembali mengalami rebound dan lebih baik dibandingkan tahun 2023.
Akan tetapi, ketidakpastian dari tensi geopolitik yang masih terjadi, menjadi ancaman terhadap perekonomian global. Tantangan jangka menengah-panjang juga tinggi, baik dari global pergeseran kekuatan politik, maupun dari kebijakan pengendalian emisi karbon. Sebagai contoh, implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa yang menerapkan bea masuk tambahan dapat berdampak negatif pada kinerja ekspor industri/sektor tertentu. Antara lain semen, aluminium, besi baja. dan kimia dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Menkeu Beri Sinyal Tarif PPN Tak Naik di 2024, akan Naik Bertahap Pada Tahun 2025 “Hal ini akan berimbas pada penerimaan perpajakan yang berasal dari industri atau sektor tersebut,” mengutip dokumen tersebut, Senin (22/5). Selain itu, terdapat juga tantangan pemungutan pajak akibat transisi ekonomi. Yakni, pertumbuhan sektor manufaktur yang diikuti oleh peningkatan pertumbuhan sektor barang dan jasa informal, dan tren
shifting konsumsi berbasis digital juga terus berlanjut. Praktik perdagangan secara digital di satu sisi juga berdampak positif terhadap efisiensi perekonomian, tetapi di sisi lain dapat menyebabkan peningkatan
shadow economy. Dengan kondisi sistem administrasi perpajakan saat ini, terdapat risiko kehilangan basis pajak (
tax base) khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) badan. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah fluktuasi harga dan permintaan atas komoditas. Pada tahun 2021 dan 2022, commodity boom merupakan faktor penentu dalam keberhasilan capaian penerimaan perpajakan. Tingginya harga komoditas-komoditas unggulan Indonesia seperti sawit, batu bara, tembaga, migas, dan lainnya berkontribusi terhadap Pajak Migas, PPh Badan, PPN, maupun Bea Keluar. Di samping itu, program hilirisasi nikel dan komoditas lainnya diharapkan memberikan multiplier terhadap PDB yang lebih besar saat harganya tinggi dan juga nilai tambah dalam negeri lebih besar.
Baca Juga: Pemerintah Pasang Target Tax Ratio 10,18% di Tahun 2024 Namun demikian, di tahun 2024 harga komoditas diperkirakan mengalami moderasi meskipun volatilitasnya masih tinggi yang akan berdampak pada penerimaan pajak. Pemerintah perlu memerhatikan dinamika konflik perdagangan beberapa negara yang dapat mempengaruhi harga komoditas global. Terdapat risiko jangka panjang penurunan permintaan global dari beberapa komoditas unggulan Indonesia. Penurunan tersebut terjadi secara perlahan (low velocity) dengan kemungkinan yang tinggi. Kebijakan efisiensi penggunaan energi fosil di berbagai negara serta
shifting ke sumber energi hijau juga berpotensi menurunkan permintaan minyak bumi. Dengan adanya faktor-faktor yang perlu diwaspadai tersebut, pemerintah akan menyiapkan langkah-langkah dalam menghadapi tekanan pada penerimaan pajak khususnya PPh Migas, PPh Badan dan PPN.
Kondisi perekonomian global dan domestik di tahun 2023 yang bergerak secara dinamis perlu terus dipantau dan dianalisis untuk memperkuat dasar kebijakan di tahun 2024. Selain itu, reformasi perpajakan dilanjutkan dan terus diperkuat. Tren shifting konsumsi berbasis digital yang semakin kuat sejak tahun 2023 dan berpotensi berlanjut di tahun 2024 perlu dimanfaatkan dalam optimalisasi penerimaan pajak digital. Perkembangan sektor jasa perlu diikuti dengan upaya merangkul sektor informal agar dapat masuk ke sistem perpajakan sehingga risiko kehilangan basis pajak akibat transisi ekonomi dapat dihindari. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari