Target pertumbuhan ekonomi 2020 sulit dicapai, ini penjelasan Indef



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Dalam kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal tersebut, pemerintah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,3% - 5,6% untuk tahun 2020.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, asumsi tersebut akan sulit dicapai lantaran beberapa alasan.


Pertama, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih bertumpu pada laju konsumsi yang berkisar 4,9% - 5,2%.

"Sementara momentum mendorong konsumsi semakin menipis seiring perekonomian global yang melambat akibat kembali membaranya perang dagang dan sejumlah aspek geopolitik. Ada potensi konsumsi melambat di 2020 seiring global yang lesu," kata Eko, Selasa (28/5).

Terlebih lagi, lanjut Eko, dalam skenario pertumbuhan di 2020 tersebut, asumsi laju impor ditargetkan hampir setara dengan laju ekspor. Padahal, pada 2018 laju impor hampir dua kali lipat laju ekspor Indonesia sehingga target tersebut jelas tidak mudah.

Di sisi target investasi (PMTB), selama era Presiden Jokowi laju investasi PMTB belum mampu tumbuh hingga 7%. Sementara pada skenario pertumbuhan 2020, pemerintah menghendaki PMTB mampu tumbuh 7,0%-7,4%,.

"Ini tugas berat bagi tim ekonomi nantinya karena pertumbuhan global melambat, sementara investasi ditargetkan meningkat," kata Eko.

Di sisi sektoral, pemerintah juga akan menghadapi tantangan terkait target laju sektor industri pengolahan di tahun depan sebesar 5,0 - 5,5%. Sebab, Eko mengatakan, selama 2018 industri pengolahan tumbuh moderat di 4,3%.

Untuk dapat bertahan di angkat tersebut saja, menurutnya, akan menjadi hal yang cukup berat karena di kuartal I-2019 industri pengolahan hanya tumbuh 3,86%. Eko menilai, badai perang dagang AS-China dapat menjadi batu sandungan berkelanjutan bagi laju industri pengolahan.

Oleh karena itu, Eko menilai, target hingga pertumbuhan tersebut sulit dicapai jika tidak ada perubahan struktural yang dilakukan. Dalam dokumen KEM PPKF 2020 juga disertakan analisis Output Gap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, yang menurut Eko menggambarkan bahwa tanpa ada reformasi struktural perekonomian terutama peningkatan kualitas SDM dan inovasi, laju pertumbuhan 5% akan menjadi sesuatu yang normal bagi Indonesia.

Eko menilai dibutuhkan dorongan kuat alias "big push" dalam waktu yang relatif cepat oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah situasi perlambatan global saat ini.

"Harus ada upaya serius dalam hal reindustrialisasi, menata ulang kebijakan sektor pertanian, serta mengoptimalkan sektor jasa pariwisata dan ekonomi kreatif," tandasnya.

Untuk mengembangkan industrialisasi, Eko menilai, pemerintah mesti fokus pada sektor yang berbasis padat karya, seperti industri makanan dan minuman. Industri ini dinilainya masih cukup kokoh, namun pertumbuhannya cenderung menurun.

Reindustrialisasi ke depan semestinya bertumpu pada sektor-sektor yang bahan bakunya ada di Indonesia atau lokal. Dengan begitu, hal ini tidak hanya akan mendorong nilai tambah tetapi juga menguatkan neraca perdagangan dan nilai tukar.

"Kita juga harus memacu industri berbasis sumber daya lokal, sehingga tidak bergantung pada bahan baku impor, misalnya industri jamu," pungkas Eko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto