KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komitmen pemerintah Indonesia menuju energi hijau patut dipertanyakan. Pasalnya, di tengah tren transisi menuju energi hijau dan berkelanjutan, pemerintah Indonesia masih terus memacu produksi batubara, bahkan tahun ini dipatok mendekati 1 miliar ton. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) total tonase untuk rencana produksi komoditas batubara pada tahun ini mencapai 922,14 juta ton, 917,16 juta ton pada 2025, dan 902,97 ton pada 2026. Pelaksana Tugas Dirjen Minerba, Bambang Suswanto mengatakan, Kementerian ESDM menyetujui 587 permohonan dari 883 permohonan RKAB tahun 2024-2026.
Baca Juga: Kementerian ESDM Setujui Produksi Batubara 922 Juta Ton Tahun Ini “Disetujui sebanyak 587 permohonan, ditolak mencapai 121 permohonan, dikembalikan (evaluasi) 100 permohonan, dan saldo 75 permohonan,” kata Bambang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Selasa (19/3). Sepanjang 2023, realisasi produksi batubara nasional mencapai 775 juta ton, melebihi target produksi pada 2023 yang dipatok sebesar 659 juta ton dan menjadi rekor tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. "Jadi produksi kita, untuk realisasi tahun 2023 mencapai 775 juta ton dan untuk kebutuhan dalam negeri (DMO) kita bisa menuhi kebutuhan 213 juta ton dan kemudian juga ekspornya 518 juta ton," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat konferensi pers, Senin (15/1). Produksi batubara Indonesia memang terus meningkat sejak tahun 2020, di mana pada tahun tersebut produksinya sebesar 564 juta ton dengan DMO sebesar 132 juta ton dan ekspor 405 juta ton. Pada 2021, produksi batubara mencapai 614 juta ton, dengan DMO sebesar 133 juta ton dan ekspor 435 juta ton. Pada tahun 2022, produksi batubara Indonesia kembali meningkat di angka 687 juta ton, dengan pasokan DMO sebesar 216 juta ton dan untuk ekspor mencapai 465 juta ton. Sementara itu, pada tahun 2024, pemerintah telah mencanangkan target produksi batubara dipatok sebesar 710 juta ton. Sampai saat ini, batubara masih menjadi sumber energi utama di sektor pembangkit listrik di Indonesia. Menurut data ESDM, pada 20222 batubara berperan 67,21% dalam bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia. Adapun porsi energi baru dan terbarukan (EBT) di 2022 adalah 14,11% atau naik dari 2021 sebesar 13,65%. Di tengah tren transisi Indonesia menuju energi hijau dan berkelanjutan, pemerintah Indonesia masih dilema terhadap industrialisasi tambang lantaran masih terus memacu produksi batubara. Direktur Center of Economy and Law Studies sekaligus ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan negara terlihat sangat bergantung pada kenaikan produksi dan harga batubara. Padahal, kata Bhima, saat ini terjadi decoupling antara naiknya harga minyak mentah yang mencapai 82,6 USD per barrel atau naik 21,53% yoy, sementara harga batubara anjlok 25% pada periode yang sama. "Jangan sampai
false hope atau salah berharap karena proyeksi permintaan batubara masih bergantung dari pemulihan China," kata Bhima kepada KONTAN, Selasa (19/3). Ia menjelaskan, dorongan produksi batubara secara masif juga sangat kontradiksi dengan komitmen transisi energi dan komitmen iklim yakni melakukan pengurangan bertahap produksi fosil. "Jadi bukan sekedar konsumsi batubara untuk PLTU yang dikurangi bertahap, tapi juga sisi produksinya. Khawatir komitmen yang bertolak belakang menimbulkan turunnya minat investasi ke pengembangan energi bersih," ujar Bhima.
Baca Juga: Sederet Emiten Holding Getol Ekspansi ke Energi Hijau, Bagaimana Prospek Sahamnya? Menurut Bhima, jika hal ini terus berlanjut, pada akhirnya terjadi window dressing di mana rencana transisi energi begitu ambisius, sementara dari sisi penggunaan batubara baik izin tambang dan rencana anggaran terus naik. Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna menilai target produksi batubara yang terus meningkat dan energi bersih yang masih lamban menunjukkan Indonesia masih perlu berbenah untuk bisa bersaing dengan negara-negara lainnya. Ia menuturkan, dengan target produksi batubara yang terus melejit ini menekankan perlunya cara padang yang lebih holistik dalam melihat pendapatan dan pembiayaan sumber daya energi. Menurut Putra, apabila produksi batubara masih mampu terus naik maka perlu dicari keseimbangan dan memanfaatkan pajak batubara untuk bertransisi ke depan. "Dua tujuan utama ekspor kita yaitu China dan India tengah berpacu kencang dalam energi bersih. Kita perlu bersiap," ungkapnya kepada KONTAN, Selasa (19/3). Dilema Penggunaan Batubara Sementara itu, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengatakan penggunaan batubara dengan proses bersih dan ramah lingkungan (
clean coal process) harus dimaksimalkan, untuk menekan emisi CO2 dari batubara. Rachmat menekankan pentingnya mencari cara
clean coal process sambil menerapkan EBT. Tidak dimungkiri, keberadaan batubara sebagai energi utama pembangkit listrik di Indonesia memang masih berperan penting di tengah maraknya penggunaan EBT. "Indonesia dianugerahi cadangan dan sumber daya batubara yang masih bisa dimanfaatkan untuk 200-500 tahun mendatang," kata Rachmat di Jakarta, Kamis (19/3). Ia menuturkan, cadangan batubara nasional saat ini mencapai 35 miliar ton dan sumber daya sebesar 134 miliar ton. Jumlah itu diperkirakan bisa digunakan hingga 500 tahun ke depan jika dilakukan dengan cara yang baik. Bahkan jika sebagian di antaranya diekspor, batubara nasional bisa dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang. Tidak dimungkiri, sampai saat ini batubara merupakan energi paling murah dibandingkan yang lain. Apalagi berbagai cara sudah dilakukan industri batubara untuk mengurangi emisi. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif mengatakan, industri batubara memang dibayangi transisi energi, sehingga banyak yang berpikiran peran batubara akan mengalami penurunan. Padahal, hampir seluruh pembangkit listrik di Jawa berasal dari energi batu bara. Menurut Irwandy, seiring kehadiran EBT, maka keberlangsungan batubara dipertanyakan. Kalau skenario biasa sampai 2060 produksi batu bara masih mencapai 720 juta ton. Hal ini tergantung pada perkembangan dari EBT.
Baca Juga: Sri Mulyani: Sepanjang Tahun Berjalan, Harga Komoditas Relatif Rendah "Saat ini pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) sudah menurunkan target pemanfaatan EBT pada 2025, dari 23% menjadi 17% karena realisasinya saat ini baru sekitar 13%," kata Irwandy di Jakarta, Kamis (14/3).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, perlu bijaksana dalam melihat batu bara. Batu bara memang paling kotor dari semua energi fosil, tetapi yang mengubah tatanan ekonomi dan transisi energi dunia adalah teknologi. Jika suatu hari ada teknologi penurunan emisi, masalah batu bara sudah selesai. Adapun, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, target produksi batubara dalam RKAB yang mencapai hampir 1 miliar ton itu akan berpotensi menekan harga pasar. "Di tengah kondisi over supply batubara, harga batubara tentu akan tertekan ya. Harga akan jatuh saat akan diproduksi lebih," ungkapnya kepada KONTAN, Selasa (19/3). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .