Target Transisi Energi Terancam Tidak Tercapai, PUSHEP Ungkap Penyebabnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) mengungkap beberapa kemungkinan target transisi energi Indonesia tidak bisa tercapai. Salah satunya adalah karena target bauran energi yang saat ini masih rendah, hingga akhir tahun 2023 saja pencapaiannya hanya 13,09%.

Terkait hal ini, analis hukum dari PUSHEP, Bayu Yusya menyoroti langkah pemerintah yang telah menyampaikan kepada DPR RI dokumen usulan perubahan kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Perubahan kebijakan energi nasional ini didasari adanya perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun global, antara lain untuk menyesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi untuk menjadi negara maju di tahun 2045, kemajuan pengembangan teknologi energi baru dan energi terbarukan, serta sebagai komitmen untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan net zero emission pada tahun 2060.


Bayu menilai perubahan kebijakan energi nasional tersebut sangat penting dan mendesak karena memang telah terjadi banyak perubahan kondisi dan untuk menghadapi tantangan penyediaan energi di masa depan.

Baca Juga: Punya Potensi Besar, Pengembangan Hidrogen Bakal Masuk Dalam RUU EBET

“Kebijakan Energi Nasional yang ditetapkan pada tahun 2014 saat ini telah berusia 10 tahun, ini waktu yang tepat untuk dilakukan perubahan”, kata dia dalam keterangan tertulis yang dikutip, Minggu (23/06).

Bayu menjelaskan, jika melihat pencapaian hingga akhir tahun 2023, target dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang telah diajukan tersebut sangat berat, mematok target bauran energi baru dan energi terbarukan antara 19% sampai dengan 22% pada tahun 2030 dan terus naik sampai 72% di tahun 2060.

“Jika tidak ada upaya yang luar biasa dan melibatkan semua pihak keroyokan bersama-sama memacu bauran energi, maka target transisi energi tidak akan tercapai”, tegasnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, selama ini kewenangan urusan energi masih terpusat di pemerintah pusat dan hanya sampai provinsi, maka perlu didesentralisasikan sampai ke daerah kabupaten/kota agar daerah juga ikut bersama-sama bertanggung jawab terhadap pengembangan energi ke depan.

Selain itu, penyediaan energi khususnya tenaga listrik untuk masyarakat tersentralisasi oleh PT PLN (Persero), padahal banyak pihak yang punya potensi untuk mendukung penyediaan energi khususnya energi terbarukan untuk masyarakat.

Untuk itu, perlu dibuka kesempatan bagi semua pihak untuk mendukung dalam penyediaan dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan terutama subholding BUMN misalnya Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) dan Pertamina Geothermal Energy (PGE) atau pihak-pihak lainnya.

“Saya kira mereka punya kemampuan, intinya semua pihak harus sinergi dan keroyokan untuk percepatan target bauran energi sesuai kebijakan transisi energi”, cetus Bayu.

Baca Juga: Kebutuhan Besar, SKK Migas Minta KKKS Geber Produksi Gas

Secara hukum hal ini sangat dimungkinkan, apalagi saat ini DPR sedang membahas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang bisa memasukkan ketentuan tentang keterlibatan pihak-pihak dalam pengembangan energi baru dan energi terbarukan.

Di samping itu juga perlu diperkuat dalam perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang juga sedang disiapkan rancangan perubahannya oleh DPR.

“Untuk itu, proses pembahasan dan penyiapan RUU ini di DPR harus transparan dan partisipasif melibatkan semua pihak”, tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari