KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tarif Trump pada impor baja dan aluminium dapat mengerek harga logam industri. Tarif yang lebih tinggi dapat menciptakan kekhawatiran pasokan logam. Seperti diketahui, Donald Trump mengumumkan telah menandatangai perintah eksekutif terkait kenaikan tarif impor baja dan aluminium sebesar 25% dari sebelumnya 10%, pada Senin (10/2). Kebijakan tersebut dijadwalkan efektif berlaku mulai 12 Maret 2025. Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, kenaikan tarif impor AS untuk produk baja dan aluminium tersebut dapat berdampak signifikan pada harga logam industri, terutama aluminium.
Baca Juga: Rencana Filipina Larang Ekspor Bijih Nikel Bakal Dongkrak Harga Meski Tak Signifikan Tarif tinggi akan meningkatkan biaya impor baja dan aluminium, yang menyebabkan harga logam ini menjadi lebih tinggi di pasar AS. Selain itu, tarif yang dikerek lebih tinggi dapat menciptakan ketidakpastian dan volatilitas di pasar karena bisnis menyesuaikan diri dengan struktur biaya yang baru. Sutopo menuturkan, Amerika Serikat (AS) sangat bergantung pada impor untuk konsumsi aluminiumnya, dengan hampir setengah dari kebutuhan aluminium dipenuhi melalui impor. Tarif memang dimaksudkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri mereka, namun mungkin perlu waktu bagi produsen AS untuk menggenjot kapasitas. Kenaikan tarif impor tersebut bertujuan untuk mendorong produksi aluminium dalam negeri. Namun, efektivitas strategi ini tidak pasti, karena tarif sebelumnya tidak secara signifikan meningkatkan produksi aluminium AS. Jika nantinya produksi dalam negeri AS meningkat secara signifikan, hal itu dapat membantu menstabilkan harga logam dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek, harga logam mungkin bakal lebih tinggi karena gangguan pasokan dan peningkatan biaya. "Tarif 25% dapat mengganggu rantai pasokan dan menciptakan kekurangan pasokan, yang menyebabkan harga menjadi lebih tinggi," jelas Sutopo kepada Kontan.co.id, Rabu (12/2). Sutopo menambahkan, peningkatan tarif impor baja dan aluminium ini dapat secara tidak langsung memengaruhi harga logam industri lainnya seperti tembaga dan timah. Tarif yang lebih tinggi dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi untuk industri yang menggunakan logam ini, sehingga harga berpotensi naik. Baca Juga: Uni Eropa Beri Peringatan: Tarif Trump akan Dibalas dengan Tindakan Tegas Selain itu, ketidakpastian dan volatilitas pasar yang disebabkan oleh tarif Trump untuk baja dan aluminium dapat mempengaruhi sentimen investor dan menyebabkan fluktuasi harga. Di sisi lain, China adalah konsumen logam industri terbesar di dunia, termasuk tembaga dan timah. Perang dagang AS – China dapat mengganggu rantai pasokan global dan arus perdagangan, yang menyebabkan perubahan permintaan dan harga logam ini. "Perang dagang dapat menciptakan ketidakpastian dan volatilitas di pasar, yang memengaruhi harga logam industri. Investor dapat bereaksi terhadap ketegangan geopolitik dengan menyesuaikan posisi mereka, yang menyebabkan fluktuasi harga," kata Sutopo. Rencana AS untuk mengenakan tarif terhadap Meksiko dan Kanada sebesar 25% mulai bulan depan juga dapat mengganggu rantai pasokan logam industri. Sebab, kedua negara tersebut merupakan pemasok utama logam seperti baja dan aluminium ke AS. Tarif yang dipatok lebih tinggi dapat menyebabkan biaya produksi kian mahal dan kekurangan pasokan, yang akhirnya bisa mempengaruhi harga. Hal ini dapat mempengaruhi industri yang bergantung pada logam industri seperti otomotif dan konstruksi. Berdasarkan data Trading Economics, Rabu (12/2) pukul 17.50 WIB, harga aluminium bertengger di US$ 2.621 per ton. Lalu timah di US$ 31.145 per ton dan tembaga pada level US$ 4.588 per ton. Harga aluminium koreksi tipis 0,25% secara mingguan, sedangkan harga timah dan tembaga masing-masing naik 4,08% dan 3,51%. Sementara itu, Analis Doo Financial Futures Lukman Leong mencermati, kenaikan tarif baja dan aluminium berpotensi menurunkan harga dan permintaan khususnya dari pasar AS yang sebagian besar total konsumsi aluminium berasal dari impor. Situasi ini bisa memicu aluminium yang tidak terjual ke AS akan membanjiri pasar global dan menekan harga. "Dengan tarif yang besar, importir di AS juga akan meminta harga yang lebih murah. Jadi secara keselurhan tarif ini akan cenderung menekan harga," imbuh Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (12/2). Lukman berujar, perang dagang yang dimulai AS tentunya sudah pasti akan menurunkan permintaan. Bukan hanya China-AS, sekarang Eropa, Kanada dan Meksiko pun sangat berpotensi melakukan retaliasi atau tindakan balasan.