Tarif Listrik Dinaikkan, Warga Sri Lanka Berteriak



KONTAN.CO.ID - KOLOMBO. Warga Sri Lanka berteriak seiring beratnya beban hidup di negara tersebut. Setelah dilanda krisis ekonomi akut, kini mereka harus menghadapi kenaikan harga listrik terbaru. 

Melansir Reuters, kenaikan harga listrik ini telah membuat pemilik kios Mohammed Lafeel dalam kebingungan. Kenaikan tarif sebesar 66% berarti dia tidak mampu membayar listrik, sekaligus tidak dapat mengelola bisnisnya. Alhasil, dia berhutang lebih banyak untuk bertahan.

Selama sebulan terakhir, dengan inflasi mencapai 55% tahun-ke-tahun, Lafeel mengatakan pendapatannya turun sekitar sepertiga karena lebih sedikit pelanggan yang membeli pernak-perniknya. Masyarakat Sri lanka lebih banyak membeli kebutuhan pokok di tengah krisis keuangan terburuk di negara itu dalam tujuh dekade.


Lafeel mengatakan dia tidak tahu bagaimana dia bisa membayar utangnya sebesar 300.000 rupee (US$ 835) yang dia pinjam untuk pernikahan putrinya. Bahkan dia harus meminjam lebih banyak untuk menyambungkan kembali listrik di rumah setelah terputus karena dia belum membayar tagihan.

"Semua orang berada di bawah tekanan," kata Lafeel kepada Reuters di kiosnya di sebelah stasiun kereta api utama di kota Kolombo, beberapa hari setelah kenaikan harga listrik kedua sejak kenaikan 75% pada Agustus.

Baca Juga: Sri Lanka Melarang Penggunaan Plastik Sekali Pakai untuk Menyelamatkan Populasi Gajah

"Tapi bagaimana kita bisa mencari uang mengatur tanpa listrik?" jelasnya.

Kenaikan tarif listrik adalah langkah terbaru Sri Lanka untuk mendapatkan pinjaman senilai US$ 2,9 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengatasi krisis saat ini. 

Presiden Sri Lanka Ranil Wickeremesinghe yang menjabat Juli lalu berjanji untuk menarik negara keluar dari krisis setelah terjadi aksi protes terhadap kekacauan ekonomi yang menyebabkan jatuhnya rezim pendahulunya.

Pada hari Selasa (21/2/2023), kabinet mengatakan pembicaraan dengan IMF berada di tahap akhir. Pemerintah berharap untuk mencapai kesepakatan pada bulan Maret dan secara bertahap mengurangi tingkat suku bunga tertinggi sejalan dengan inflasi.

Semakin tertekan

Seperti kebanyakan orang dari 22 juta orang Sri Lanka, Sanjula Peiris, direktur pelaksana Wish Bakers, sangat membutuhkan penurunan tekanan dari inflasi makanan, yang mencapai 60% dalam basis tahunan.

Perusahaan yang memiliki 15 gerai di pinggiran Kolombo itu memutuskan tidak menaikkan harga karena takut kehilangan bisnis. Namun, biaya produksi mereka naik tiga kali lipat dalam setahun terakhir, dengan kenaikan tagihan listrik terbaru menambah beban.

"Bukan hanya oven, sebagian besar mesin kami membutuhkan daya," kata Peiris. "Kami berjuang untuk mempertahankan bisnis kami."

Baca Juga: Inilah Kondisi Ekonomi 3 Negara Asia yang Jadi Pasien IMF, Seperti Apa?

Sekitar 200 dari 5.000 toko roti di Sri Lanka telah tutup, kata N.K. Jayawardena, presiden serikat pembuat roti terbesar, All Ceylon Bakery Association.

Banyak dari mereka yang masih berjalan telah mem-PHK staf, katanya.

"Kenaikan tarif listrik ini sangat tidak adil, apalagi di tengah kesulitan yang begitu besar," katanya.

Pemerintah Sri Lanka telah mengakui penderitaan yang dialami warganya akibat kenaikan tagihan listrik, tetapi mengatakan tidak ada jalan keluar lain dari krisis.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie