Tarif nikah multitarif dikhawatirkan gratifikasi



JAKARTA. Sistem tarif nikah yang bervariasi (multitarif) dikhawatirkan memunculkan gratifikasi di kalangan penghulu. Hingga kini, Kementerian Agama masih mengkaji sistem penerapan tarif nikah yang ideal. “Bisa saja multitarif, tapi kami di lapangan khawatir ada tafsir berbeda dari multitarif itu. Kalau ada tafsir beda-beda, maka gratifikasi itu akan muncul lagi,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/1/2014). Dalam diskusi yang turut dihadiri perwakilan Kementerian Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suryadharma mengatakan akan mematangkan tindak lanjut revisi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak di Kemenag, termasuk tarif nikah. Menurutnya, draf revisi PP tersebut masih dibahas Kemenag bersama-sama dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Dalam pembahasan revisi tersebut, lanjutnya, muncul dua gagasan mengenai penetapan tarif nikah, yakni single tarif dan multitarif. Mengenai gagasan multitarif, ada dua pertimbangan yang mendasarinya. Pertimbangan pertama, kata Suryadharma, tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang bervariasi. Kedua, letak geografis yang berbeda-beda antara satu KUA dengan KUA yang lain. “Karena lingkup KUA di kecamatan-kecamatan berbeda dari satu kemacatan dengan kemacatan lain. Ada kemacatan yang mudah dijangkau, tapi ada juga yang harus gunakan speed boat dan pesawat. Itu pertimbangan geograifisnya. Ada prtimbangan ekonominya, miskin bagaimana, menengah bagaimana, kemampuan tinggi bagaimana,” tutur Suryadharma. Namun, sistem multitarif ini dikhawatirkannya berpontensi memunculkan gratifikasi jika ditafsirkan secara berbeda. “Dari hasil pembahasan tadi, ada juga model-model yang akan kita kaji misalnya biaya rumah sakit ada kelas A, B, C, ada juga model upah minimal regional, upah minimal kabupaten kota, kalau di KUA semacam upah minimal kecamatan, makin tergambar kerumitan tetapkan tarif yang mendekati realita,” sambungnya. Selain membahas tarif nikah multitarif, menurut Suryadharma, rapat dengan pimpinan KPK dan sejumlah instasi lainnya tersebut juga membahas potensi gratifikasi yang berkaitan dengan kepengurusan surat keterangan nikah N1, N2, N3, dan N4. “Itu mulai dari RT, RW, kelurahan, kami kemukakan bagaimana mengatasi masalah seperti itu,” katanya. Dalam diskusi tersebut, menurut Suryadhrama, Kemenag juga membahas masalah petugas pembantu pencatat nikah yang honornya bukan berasal dari Pemerintah. Menurut Suryadharma, petugas pembantu pencatat nikah diperlukan karena tenaga pegawai negeri sipil (PNS) di KUA tidak mencukupi. “Karena memang pada tingkat kantor urusan agama, kami tidak memiliki personel yang cukup, direkrutlah P3N (petugas pembantu pencatat nikah) yang tidak dapat honor resmi dari pemerintah,” ujarnya. (Icha Rastika)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan