Tarif Pajak Konsumsi Listrik dari EBT Seharusnya Lebih Rendah dari Energi Fosil



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pajak untuk sumber energi dari Energi Baru Terbarukan (EBT) seharusnya bisa lebih rendah daripada sumber energi yang masih menggunakan bahan bakar fosil.

Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), tarif PBJT untuk konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan paling tinggi sebesar 3%. Hal ini disinyalir dapat berdampak pada pelaku usaha yang telah memanfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) untuk keperluan operasionalnya.

Ekonom Center of Economic and Law Studis (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pajak untuk sumber energi dari EBT sebaiknya memiliki tarif pajak yang lebih rendah dibanding energi fosil.


Baca Juga: Investasi EBT pada 2023 Tak Capai Target, IESR Soroti Perbaikan Iklim Investasi

Ia menjelaskan, di berbagai negara sudah wajar ada perbedaan fasilitas pajak untuk dorong transisi energi. Terbaru adalah Inflation Reduction Act di AS yang berikan kredit pajak bagi perusahaan yang memanfaatkan listrik dari pembangkit EBT.

"Upaya ini bisa mendorong pelaku usaha beralih ke sumber energi listrik yang ramah lingkungan. Kalau perlu tarif pajaknya jadi 0% karena Pemda akan mendapat manfaat pajak lain misalnya dari kehadiran industri komponen pembangkit EBT hingga usaha jasa operator EBT," kata Bhima Kontan.co.id, Rabu (17/1).

Sementara itu, Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) atau Asosiasi Industri dan Baja Indonesia sekaligus Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) Purwono Widodo mengatakan, Ketentuan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk Tenaga Listrik (TL) di atur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diatur pada pasal 58 di mana ditetapkan PBJT- TL untuk konsumsi TL untuk industri yang berasal dari sumber lain adalah sebesar maksimal 3% dan yang berasal dari sumber sendiri maksimal 1,5%.

"Dalam ketentuan ini belum dibedakan antara sumber listrik yang berasal dari fosil dan EBT," kata Purwono saat dihubungi KONTAN, Rabu (17/1).

Ia menerangkan, pemerintah perlu mendorong perkembangan EBT antara lain dengan memberikan ketentuan perpajakan yang lebih baik (pajak lebih rendah), bahkan memberikan insentif investasi yang menarik untuk EBT, mengingat EBT juga sangat diperlukan dalam mendorong produksi baja yang lebih rendah emisi yang saat ini semakin diperlukan dalam persaingan global (misal CBAM).

"EBT akan berdampak pada daya saing industri baja di masa yang akan datang, meskipun pada saat ini dampaknya belum cukup dirasakan," ujar Purwono.

Hal ini, kata dia, mengingat tuntutan untuk menghasilkan produk baja rendah emisi (green steel) di mana sumber energi listrik berkontribusi sangat besar di industri baja dalam menurunkan tingkat emisi.

"Dengan demikian pemberlakuan ketentuan pajak yang lebih ringan dan pemberian insentif investasi sangat dibutuhkan," pungkas dia.

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) turut buka suara terkait penetapan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT) atas tenaga listrik yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022. 

Baca Juga: Target Bauran Energi Primer EBT Direvisi, Turun Menjadi 17%-19% pada Tahun 2025

Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menyampaikan, saat ini paling sedikit sudah ada 4 industri keramik yang menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk kegiatan operasional.

Adanya penetapan tarif pajak konsumsi listrik maksimal 3% untuk industri pengguna PLTS Atap dianggap kontraproduktif dengan semangat dan komitmen pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.

Seharusnya pemerintah mampu memberikan insentif untuk industri-industri yan menerapkan konsep industri hijau melalui pemanfaatan EBT. “Bukan malah sebaliknya membebani industri-industri dengan pengenaan pajak,” kata Edy, Rabu (17/1).

Pihak Asaki pun memperkirakan tren pemanfaatan PLTS Atap di industri keramik nasional akan terus berlanjut jika pemerintah gencar memberikan insentif. Minimal pemerintah tidak mengenakan pajak atas penggunaan EBT, mengingat adanya kepedulian dari industri keramik terhadap penurunan emisi gas rumah kaca sesuai target National Determined Contribution (NDC) Indonesia pada 2030 maupun emisi karbon netral pada 2060 mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .