KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menggelar program pengungkapan sukarela wajib pajak pada 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Seperti
tax amnesty pada lima tahun silam, tarif pengampunan pajak yang diberikan lebih rendah dari ketentuan tarif tertinggi pajak penghasilan (PPh) orang pribadi yang berlaku saat ini sebesar 30%. Agenda tersebut Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Calon beleid ini merupakan perubahan nama dari usulan sebelumnya yakni RUU tentang Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disepakati bersama antara Panita Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI dan pemerintah pekan ini. Kemudian rencananya akan dibawa ke Sidang Paripurna DPR RI pekan depan, untuk segera dijadikan UU.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reasearch Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, program pengungkapan sukarela wajib pajak akan menuai pro dan kontra. Wajib pajak yang selama ini sudah patuh akan merasa dirugikan, sebab lima tahun lalu otoritas sudah menggelar
tax amnesty.
Baca Juga: Bukan tax amnesty, pemerintah gelar program pengungkapan sukarela wajib pajak Namun, program tersebut diprediksi akan diminati para wajib pajak karena tarifnya yang lebih rendah daripada usulan sebelumnya. Bahkan untuk hampir sama dengan
tax amnesty tahun 2017 lalu. “Tarif yang ditetapkan sudah cukup moderat karena berdasarkan keputusan DPR dan pemerintah. Dalam hal ini DPR sudah mewakili suara para wajib pajak,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Senin (4/10). Menurut Prianto, hal lain yang akan menarik minat wajib pajak yakni dengan adanya pengaturan tarif lebih rendah atas harta bersih yang diinvestasikan dalam SDA atau enegi terbarukan. Sebab, sektor SDA seperti batubara dalam beberapa tahun terakhir sedang mengalami kenaikkan harga. Dus, program pengungkapan sukarela wajib pajak akan menjadi momentum wajib pajak orang pribadi yang mendapatkan penghasilan dari SDA atau energi terbarukan, bisa menikmati tarif PPh OP yang rendah. Alhasil, dengan tarif yang pengampunan pajak yang rendah dan syarat investasi yang beragam, Prianto optimistis, penerimaan pajak dari program pengungkapan sukarela wajib pajak maksimal bisa mencapai Rp 100 triliun. “Memang lebih efektif mengadakan program seperti itu, dibandingkan mengejar wajib pajak, seperti di Amerika Serikat yang sudah lebih dulu. Tapi sayangnya tidak berjalan lancar, karena soal begini wajib pajak lebih lincah,” kata Prianto. Prianto berharap, pasca program pengungkapan sukarela wajib pajak digelar, otoritas pajak dapat mendapatkan data informasi kekayaan dan perpajakan WP OP yang telah ikut serta. Untuk seterusnya dipantau dan dilakukan intensifikasi. Sebagai informasi, Bab V tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur dua skema. Skema pertama, program yang ditujukan bagi para alumni
tax amnesty tahun 2016-2017 lalu alian atas harta yang diperoleh wajib pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015. Tarif program pengungkapan sukarela wajib pajak yang ditawarkan kepada alumni
tax amnesty terdiri dari lima jenis.
Pertama, 6% atas harta yang berada di Indonesia dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan, dan/atau Surat Berharga Negara (SBN).
Kedua, 8% atas harta bersih yang berada di Indonesia dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor SDA atau sektor energi terbarukan, dan/atau SBN.
Ketiga, 6% atas harta bersih yang berada di luar negeri dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia dan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor mengolahan SDA, atau sektor energi terbarukan, dan/atau SBN.
Keempat, 8% atas harta bersih yang berada di luar negeri dialihkan ke Indonesia, dan tidak diinvestasikan ke usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan, dan/atau SBN.
Kelima, 11% atas harta bersih yang berada di luar Indonesia yang tidak dialihkan ke Indonesia sama sekali.
Baca Juga: RUU KUP ganti nama jadi RUU HPP, ini penjelasan Ketua Panja DPR Editor: Khomarul Hidayat