Tarik ulur beleid limbah memukul industri



JAKARTA. Pelaksanaan peraturan limbah yang menimbulkan ketidaksepahaman soal definisi limbah membuat laju bisnis dari pelaku industri menjadi terganggu.

Saat ini, Kementerian Lingkunga Hidup sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan menjadi produk turunan dari Undang-Undang No. 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nah, dalam penyusunan beleid ini, ada poin yang bisa mengancam industri.

Misalnya, soal definisi limbah yang diklaim tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Menurut pemerintah, limbah sebagai zat atau bahan yang dibuang atau diperuntukan untuk dibuang.


Kenyataannya, ada produk turunan industri dan bahan baku impor berstatus limbah ternyata bisa dipakai industri. Misalnya, skrap (besi bekas) dan limbah kertas (waste paper). "Produk ini bisa dimanfaatkan industri,"  terang Tony Wenas, Juru Bicara Forum Komunikasi Lintas Asosiasi Industri Bidang Lingkungan Hidup dan Sustainability, Rabu (13/2).

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian juga sedang menyusun RPP Bahan Kimia. Bila dari sisi definisi limbah saja sudah tidak kata sepaham, Tony khawatir akan terjadi dua peraturan yang saling tumpang tindih.

Klaim limbah B3 (bahan berbahaya beracun) marak tahun lalu dan menimbulkan dampak negatif bagi industri. Misalnya, produsen baja domestik terpukul lantaran produksi baja turun akibat kelangkaan bahan baku skrap.

Ketua Indonesian Iron and Steel Industry Association, Fazwar Bujang bilang, akibat pasokan skrap impor yang terhambat sejak tahun lalu, produksi baja di dalam negeri merosot 12% dari rata-rata produksi baja tiap tahun yang sebesar enam juta ton.

Menurut Fazwar, pengenaan status B3 terhadap skrap impor oleh pemerintah terkesan dipaksakan. Pasalnya, berdasarkan konsesi Basel, skrap tidak termasuk ke limbah B3.

Pemeriksaan limbah B3 di pelabuhan ikut membuat industri kertas domestik menelan kerugian. Imbasnya, menurut Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Herman Gunawan, proses produksi kertas kemasan jadi terlambat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon