Tarik Ulur Soal Kritik ke Pemerintah



KONTAN.CO.ID - Di negara yang demokratis dan rasional, kritik sesungguhnya adalah hal yang biasa. Presiden Joko Widodo (Jokowi), belum lama ini meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah.

Kritik, adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Dengan adanya kritik, kemungkinan atau potensi terjadinya maladministrasi dapat dikurangi, sekaligus para penyelenggara pelayanan publik dapat meningkatkan upaya perbaikan atas masukan masyarakat.

Keterbukaan pemerintah menerima kritik dari masyarakat ini, tentu positif dan menggembirakan. Cuma, yang mengherankan adalah kenapa di balik tawaran pemerintah membuka diri terhadap kritik, justru ada sebagian pihak yang pesimistis?


Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, misalnya termasuk salah seorang yang terkesan kurang antusias menyambut permintaan pemerintah. Bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?

Pertanyaan retorik yang dilontarkan Jusuf Kalla ini mewakili keraguan sejumlah pihak tentang keseriusan pemerintah menerima kritik. Di atas kertas, kritik memang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan demokrasi melalui mekanisme check and balance. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak akan berjalan dengan baik dan transparan.

Problema kritik

Kalau mengacu pada Indeks Demokrasi Indonesia, diakui atau tidak, saat ini kualitas kehidupan berdemokrasi di tanah air tengah menurun. Di tahun 2020, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), dari 180 negara yang disurvei, posisi Indonesia dilaporkan anjlok 17 peringkat dari rangking ke-85 (2019) menjadi ranking ke-102 (2020). Ini adalah posisi skor terendah Indonesia dalam 14 tahun terakhir.

Berbeda dengan sejumlah negara maju yang memberi keleluasaan sebesar-besarnya bagi kritik, tak terkecuali kritik pada Kepala Negara, di Indonesia batas-batas kebebasan menyampaikan kritik dinilai masih belum sepenuhnya jelas, dan bahkan paradoksal. Tidak jarang, berbagai kasus penyampaian kritik kepada pemerintah justru menjadi pengalaman traumatik, dan bahkan sebagian berujung jeruji penjara karena dinilai kelewat batas. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan penyampaian kritik di Indonesia masih menjadi bahan perdebatan.

Pertama, persoalan batasan kritik yang konstruktif dan kritik mana yang termasuk destruktif. Bagi sebagian pihak, keengganan menyampaikan kritik kepada pemerintah bisa jadi merupakan imbas dari ketakutan masyarakat terhadap penerapan pasal 45 Undan Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya yang terkait dengan klausul pencemaran nama baik. Selain itu, pasal 45a dan 45b juga dinilai bisa menjadi pasal karet karena tafsirnya bermacam-macam, sehingga bisa dipergunakan untuk menjerat pengguna media sosial terkait penyampaian ujaran kebencian, ancaman kekerasan, dan lain-lain.

Kedua, berkaitan dengan mekanisme penyampaian kritik dan respon terhadap kritik yang benar-benar efektif. Di Indonesia, saluran penyampaian kritik seringkali masih dikanalisasi dalam ruang-ruang formal dan melalui lembaga resmi. Sementara itu, untuk kritik di luar jalur resmi tidak jarang dipandang tabu, dan bahkan dianggap melanggar hukum.

Menggelar aksi unjuk rasa, misalnya, seringkali menghadapi tindakan penertiban yang represif, terutama ketika keluar dari koridor ketentraman dan keamanan. Alih-alih membicarakan jalan keluar dan respon yang diharapkan sesuai aspirasi sosial-politik masyarakat, dalam menyikapi aksi unjuk rasa yang lebih dipersoalkan biasanya adalah anarkis -tidaknya aksi yang berkembang di lapangan. Tidak jarang, dengan alasan aksi unjuk rasa yang digelar anarkis, maka sejumlah pemimpin aksi unjuk rasa akan diamankan dan diminta mempertanggungjawabkan tindakannya.

Ketiga, berkaitan dengan respon lembaga atau negara terhadap kritik yang dilontarkan masyarakat. Tidak sekali-dua kali terjadi, kritik yang dilontarkan masyarakat justru dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik pihak penguasa. Pada saat kekuasaan atau jabatan mulai mempribadi (personalized), maka yang terjadi biasanya pihak yang berkuasa menjadi over sensitif. Kritik terhadap kinerja sebuah lembaga layanan publik, bukan tidak mungkin dinilai sebagai kritik terhadap pejabat yang berkuasa.

Didasari bukti

Memastikan sebuah kritik menjadi masukan, dan kapan sebuah kritik dianggap sebagai penghinaan atau ujaran kebencian, memang bukan hal yang mudah. Secara normatif, dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 sebetulnya telah diberikan dan dijamin keleluasaan dan kemerdekaan masyarakat menyampaikan pendapat di muka umum. Namun demikian, bagaimana caranya agar penyampaian kritik tidak terjerumus dalam tafsir yang keliru?

Dalam praktik, kritik yang dilontarkan masyarakat sering tidak hanya berupa masukan, tetapi juga kecaman dan bahkan penghinaan. Kritik yang dilontarkan massa dalam sebuah aksi demo, misalnya, tidak jarang mencemooh, menjadikan pihak penguasa sebagai bahan pergunjingan dan lelucon.

Menyikapi kritik seperti ini, tentu tidak bisa dinilai secara hitam-putih. Sikap kaku menyikapi kritik, niscaya hanya akan melahirkan situasi paradoksal.

Kritik bisa saja bergeser menjadi fitnah dan tuduhan tanpa dasar. Bagi sebagian pihak, kebebasan menyampaikan kritik memang terkadang dimanfaatkan sebagai ruang bebas untuk menyampaikan apa pun kecaman meski tanpa dasar.

Kritik yang hanya didasari kebencian dan hasrat untuk merebut kekuasaan, biasanya rentan tergelincir menjadi fitnah yang tanpa bukti. Ini berbeda dengan kritik yang konstruktif.

Untuk memastikan agar kritik tidak terkontaminasi kepentingan politik kelompok tertentu, yang dibutuhkan sesungguhnya bukan hanya ruang kebebasan, tetapi juga bukti-bukti yang valid. Sah-sah saja masyarakat melontarkan kritik yang pedas dan menohok nama baik seorang penguasa jika memang didukung bukti yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebuah kritik dikategorikan menghina dan mencemarkan nama baik, jika yang dikemukakan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dibutuhkan kebijakan dan kearifan aparat untuk bersikap netral dan benar-benar objektif menyikapi munculnya berbagai kritik dari masyarakat. Sepanjang kritik dipahami sebagai masukan dan bentuk partisipasi masyarakat melakukan kontrol untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas, maka sepanjang itu pula pemerintah tidak akan menyikapi kritik sebagai ancaman. Bagaimana pendapat Anda?

Penulis : Bagong Suyanto

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti