Permintaan tas anak dan sekolah melonjak bulan ini. Pedagang grosir pun mulai menyiapkan stok untuk awal tahun ajaran. Alhasil, produsen kewalahan memenuhi pesanan. Repotnya, saat permintaan tinggi, harga bahan baku ikut naik.Bulan-bulan ini merupakan masa paling sibuk bagi para produsen tas sekolah, khususnya yang menyasar anak-anak setingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Permintaan dalam jumlah besar (grosir) mulai meningkat. Alhasil, para produsen ikut kewalahan memenuhi pesanan. Tengok saja suasana di Pasar Asemka, Jakarta Barat. Dalam sehari, seorang pedagang grosir di kawasan itu bisa menjual minimal selusin tas sekolah. Itu baru dari satu lokasi. Padahal, di Jakarta, ada beberapa pusat grosir tas lain, seperti di Pasar Jatinegara, Pasar Senen, dan Tanahabang. Para produsen tas ikut merasakan berkah dari permintaan tinggi itu. Andi Rahman, pengusaha tas anak merek Estico asal Semarang, mengaku kewalahan memenuhi pesanan. Sebulan terakhir, ia mendapat pesanan minimal 1.000 tas dari pedagang grosir di Pasar Johar, Semarang. Padahal, di bulan biasanya, permintaan yang masuk hanya sekitar 500 tas.Jumlah itu belum termasuk permintaan dari kota lain, seperti Jakarta, Medan, Lampung, dan Surabaya. “Sekarang, saya harus menghentikan dulu pesanan dari daerah lain. Saya lebih memprioritaskan memenuhi permintaan dari Semarang dulu,” terangnya.Hal senada diungkapkan Atdy Sulistiana Triana. Pemilik tas merek Platinum di Bandung ini bilang, sejak awal Maret, permintaan terus meningkat. CV Lampu Merah, perusahaannya, mendapat pesanan 400 lusin tas anak sebulan. Padahal, bulan biasanya, pesanan tidak lebih 200 lusin. “Saya juga memproduksi tas jenis lain. Tapi, hampir 60% pesanan yang meningkat berupa tas anak,” ujarnya.Permintaan tas itu kebanyakan berasal dari para pedagang tas grosir di luar wilayah Bandung. “Mereka dari pusat grosir di Jakarta seperti Senen, Jatinegara, yang rata-rata meminta pesanan besar,” ungkap Atdy.Untuk mengantisipasi tingginya permintaan, saat ini, Atdy mengerahkan sekitar 50 pekerja lepas. “Saya juga punya pekerja sendiri, tapi tidak cukup. Saya perlu kerjasama dari mereka,” tuturnya. Sistemnya, mereka mengerjakan dalam jumlah tertentu, Atdy lantas membelinya. Andi juga menempuh langkah serupa. Ia menggandeng beberapa perajin tas di sekitar Semarang. Bedanya, ia memasok bahan baku dan model tas untuk dikerjakan. Dengan pola ini, margin keuntungannya memang menipis, menjadi sekitar Rp 1.000–Rp 2.500 per tas. Meski margin tipis, Jazid Lawas, pemilik lapak grosirtasboneka.com, bilang, keuntungan di masa mendekati tahun ajaran baru tetap besar. Selama ini, untuk memenuhi pesanan yang melonjak, Jazid lebih senang memperkerjakan ibu-ibu di sekitar Cikampek, Jawa Barat. Pesaing tas ChinaJazid mengungkapkan, di bulan-bulan sekarang, omzet usahanya bisa bisa mencapai Rp 14 juta hingga Rp 18 juta per bulan. Apalagi, “Pemain di bisnis ini belum terlalu banyak. Kalaupun ada, skalanya masih usaha kecil,” katanya. Atdy juga mengamini. Menurutnya, peluang menggarap bisnis tas sekolah masih terbuka lebar lantaran persaingan di bisnis ini tidak sekeras bisnis garmen. “Di garmen, pemain sudah sangat banyak,” katanya.Namun, di tengah tingginya permintaan, pedagang tas sekolah tetap harus cermat mengelola pelanggan. Sebab, di saat yang sama, mereka harus berhadapan dengan serbuan produk tas anak dari China. Apalagi, harga tas impor itu bersaing dengan produk lokal. Andi bilang, selisih harga produk tas China dengan produk lokal bisa mencapai Rp 5.000 per tas. Agar tidak tergerus oleh produk China, Jazid lebih memilih membuat produk tas yang berbeda. Ia membikin desain tas berbahan parasut dalam pelbagai bentuk. Di antaranya bentuk Pikacu, Bernard Bear, Doraemon, maupun Sponge Bob. Dengan membuat model sedikit lebih rumit, menurutnya, orang lain akan susah menjiplaknya. Tapi, produk China bukanlah satu-satunya ancaman bagi para produsen tas anak lokal. Atdy melihat, saat permintaan tas melonjak seperti sekarang, harga bahan baku tas ternyata ikut merangkak naik. Sebagai gambaran, harga bahan kain tas kualitas terbaik atau biasa disebut kain berkode 1682 kini mencapai Rp 1,05 juta per gulung. Sebelumnya, harganya masih Rp 950.000 per rol. Kenaikan harga juga terjadi pada kain kualitas sedang dan rendah. “Rata-rata harganya naik 10%,” tutur Atdy. Kenaikan itu lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan bahan baku dan pasokan yang tersedia. “Semua produsen membuat banyak, akhirnya harga bahan baku naik 10%,” tambahnya. Bagi produsen, sebenarnya, kenaikan harga bahan baku tidak menjadi masalah besar selama besaran kenaikannya masih masuk akal. Persoalan baru muncul ketika pemesanan sedang tinggi, ternyata, pasokan bahan baku seret. Biasanya hal ini terjadi lantaran persediaan beberapa jenis bahan baku terbatas atau bahkan habis. “Seperti sekarang, kami harus menunggu barang (bahan baku) datang,” ujar Atdy. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Tas sekolah yang warna-warni yang semakin banyak digemari
Permintaan tas anak dan sekolah melonjak bulan ini. Pedagang grosir pun mulai menyiapkan stok untuk awal tahun ajaran. Alhasil, produsen kewalahan memenuhi pesanan. Repotnya, saat permintaan tinggi, harga bahan baku ikut naik.Bulan-bulan ini merupakan masa paling sibuk bagi para produsen tas sekolah, khususnya yang menyasar anak-anak setingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Permintaan dalam jumlah besar (grosir) mulai meningkat. Alhasil, para produsen ikut kewalahan memenuhi pesanan. Tengok saja suasana di Pasar Asemka, Jakarta Barat. Dalam sehari, seorang pedagang grosir di kawasan itu bisa menjual minimal selusin tas sekolah. Itu baru dari satu lokasi. Padahal, di Jakarta, ada beberapa pusat grosir tas lain, seperti di Pasar Jatinegara, Pasar Senen, dan Tanahabang. Para produsen tas ikut merasakan berkah dari permintaan tinggi itu. Andi Rahman, pengusaha tas anak merek Estico asal Semarang, mengaku kewalahan memenuhi pesanan. Sebulan terakhir, ia mendapat pesanan minimal 1.000 tas dari pedagang grosir di Pasar Johar, Semarang. Padahal, di bulan biasanya, permintaan yang masuk hanya sekitar 500 tas.Jumlah itu belum termasuk permintaan dari kota lain, seperti Jakarta, Medan, Lampung, dan Surabaya. “Sekarang, saya harus menghentikan dulu pesanan dari daerah lain. Saya lebih memprioritaskan memenuhi permintaan dari Semarang dulu,” terangnya.Hal senada diungkapkan Atdy Sulistiana Triana. Pemilik tas merek Platinum di Bandung ini bilang, sejak awal Maret, permintaan terus meningkat. CV Lampu Merah, perusahaannya, mendapat pesanan 400 lusin tas anak sebulan. Padahal, bulan biasanya, pesanan tidak lebih 200 lusin. “Saya juga memproduksi tas jenis lain. Tapi, hampir 60% pesanan yang meningkat berupa tas anak,” ujarnya.Permintaan tas itu kebanyakan berasal dari para pedagang tas grosir di luar wilayah Bandung. “Mereka dari pusat grosir di Jakarta seperti Senen, Jatinegara, yang rata-rata meminta pesanan besar,” ungkap Atdy.Untuk mengantisipasi tingginya permintaan, saat ini, Atdy mengerahkan sekitar 50 pekerja lepas. “Saya juga punya pekerja sendiri, tapi tidak cukup. Saya perlu kerjasama dari mereka,” tuturnya. Sistemnya, mereka mengerjakan dalam jumlah tertentu, Atdy lantas membelinya. Andi juga menempuh langkah serupa. Ia menggandeng beberapa perajin tas di sekitar Semarang. Bedanya, ia memasok bahan baku dan model tas untuk dikerjakan. Dengan pola ini, margin keuntungannya memang menipis, menjadi sekitar Rp 1.000–Rp 2.500 per tas. Meski margin tipis, Jazid Lawas, pemilik lapak grosirtasboneka.com, bilang, keuntungan di masa mendekati tahun ajaran baru tetap besar. Selama ini, untuk memenuhi pesanan yang melonjak, Jazid lebih senang memperkerjakan ibu-ibu di sekitar Cikampek, Jawa Barat. Pesaing tas ChinaJazid mengungkapkan, di bulan-bulan sekarang, omzet usahanya bisa bisa mencapai Rp 14 juta hingga Rp 18 juta per bulan. Apalagi, “Pemain di bisnis ini belum terlalu banyak. Kalaupun ada, skalanya masih usaha kecil,” katanya. Atdy juga mengamini. Menurutnya, peluang menggarap bisnis tas sekolah masih terbuka lebar lantaran persaingan di bisnis ini tidak sekeras bisnis garmen. “Di garmen, pemain sudah sangat banyak,” katanya.Namun, di tengah tingginya permintaan, pedagang tas sekolah tetap harus cermat mengelola pelanggan. Sebab, di saat yang sama, mereka harus berhadapan dengan serbuan produk tas anak dari China. Apalagi, harga tas impor itu bersaing dengan produk lokal. Andi bilang, selisih harga produk tas China dengan produk lokal bisa mencapai Rp 5.000 per tas. Agar tidak tergerus oleh produk China, Jazid lebih memilih membuat produk tas yang berbeda. Ia membikin desain tas berbahan parasut dalam pelbagai bentuk. Di antaranya bentuk Pikacu, Bernard Bear, Doraemon, maupun Sponge Bob. Dengan membuat model sedikit lebih rumit, menurutnya, orang lain akan susah menjiplaknya. Tapi, produk China bukanlah satu-satunya ancaman bagi para produsen tas anak lokal. Atdy melihat, saat permintaan tas melonjak seperti sekarang, harga bahan baku tas ternyata ikut merangkak naik. Sebagai gambaran, harga bahan kain tas kualitas terbaik atau biasa disebut kain berkode 1682 kini mencapai Rp 1,05 juta per gulung. Sebelumnya, harganya masih Rp 950.000 per rol. Kenaikan harga juga terjadi pada kain kualitas sedang dan rendah. “Rata-rata harganya naik 10%,” tutur Atdy. Kenaikan itu lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan bahan baku dan pasokan yang tersedia. “Semua produsen membuat banyak, akhirnya harga bahan baku naik 10%,” tambahnya. Bagi produsen, sebenarnya, kenaikan harga bahan baku tidak menjadi masalah besar selama besaran kenaikannya masih masuk akal. Persoalan baru muncul ketika pemesanan sedang tinggi, ternyata, pasokan bahan baku seret. Biasanya hal ini terjadi lantaran persediaan beberapa jenis bahan baku terbatas atau bahkan habis. “Seperti sekarang, kami harus menunggu barang (bahan baku) datang,” ujar Atdy. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News