Tata kelola kelistrikan nasional



Selama belasan jam listrik di Jakarta, Jawa Barat dan Banten padam, sehingga wilayah ini disekap gelap dan sinyal seluler menghilang. Tak mengherankan bila masyarakat teriak. Deretan peristiwa yang terjadi pada Minggu, 4 Agustus 2019 lalu tampaknya tak bakal terlupakan. Bagaimana bisa tiba-tiba aliran listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) terputus tanpa pemberitahuan?

Industri, pelaku ekonomi kerakyatan atau Usaha Kecil dan Menengah (UKM), hingga masyarakat rumah tangga dirugikan atas kejadian ini. Aneka respon dilontarkan pasca kejadian tersebut, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut meluapkan kemarahannya. Presiden menginstruksikan agar PLN membenahi sistem kelistrikan dan yang tak kalah ditekankan adalah ganti rugi kepada para pelanggan atau konsumen.

Namun, hal yang menjadi pertanyaan banyak orang di luar sana adalah bagaimana skema penebusan kelalaian yang merugikan secara masif ini? Solusi yang ditawarkan pemerintah memang sudah ditentukan.


Terdapat acuan yang mengatur ganti rugi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Aturan ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 27 tahun 2017. Pasal 6 beleid ini mengatur secara teknis dan rigid.

Kendati begitu, kita perlu menganalisis lebih jauh terkait landasan penghitungan kerugian ini, apakah sudah mencerminkan rasa keadilan atau tidak? Perlu digarisbawahi bahwa karakteristik konsumen listrik di Indonesia beraneka ragam. Di antara mereka ada yang sangat tergantung aktivitasnya dengan pasokan listrik.

Pemerintah sudah menetapkan angka 21 juta pelanggan yang terkena dampak pemadaman listrik massal ini. Sebagian tentu terhenti kegiatan ekonominya dan kerugian mereka ada yang bisa dihitung. Namun, tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan hitungan pemakaian KWH.

Cara yang mendekati rasa keadilan bagi publik adalah mencacah jumlah konsumen yang terhenti kegiatan ekonominya, terutama para pelaku UKM dan selanjutnya menghitung berapa kerugian materiilnya. Selain itu, secara kualitatif tak sedikit masyarakat terdampak, namun tidak terkait dengan kegiatan ekonomi. Misalnya yang terganggu mobilitas, komunikasi atau aktivitasnya. Kerugian yang bersifat imateriil.

Pertanyaan kembali muncul, apakah mereka yang terdampak secara imateriil mendapat ganti rugi? Lantas bagaimana mengukur kerugian mereka? Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius demi asas keadilan.

Kerugian imateriil ini tentu tidak dapat dikompensasi dengan pendekatan KWH. Kalkulasi kerugian tidak bisa dipatok dengan pendekatan rigid. Namun, sebagai konsumen, mereka berhak dan wajar menentukan besaran kerugian. Nilainya tak bisa ditentukan oleh UU 30/2009 tersebut.

Ringkasnya, kerangka solusi penggantian akibat pemadaman listrik yang saat ini jadi acuan tidak adil jika hanya menghitung masa henti atau konsumsi KWH. Untuk itu, atas nama keadilan dan kemanusiaan, PLN harus memperlihatkan pertanggungjawaban yang proporsional. Pijakan pertanggungjawaban harus merefleksikan semangat keadilan dan profesionalisme sebuah institusi yang menghargai konsumennya.

Lebih dari itu semua, persoalan pemadaman listrik atau black out ini merupakan tantangan agar PLN berpikir jauh ke depan. Perusahaan pelat merah ini harus memastikan problem serupa tidak terulang lagi.

Pasalnya, sejarah mencatat bahwa pada tahun 2002 dan 2005 pernah terjadi pemadaman listrik total di Jawa dan Bali selama enam jam. Artinya, ini repetisi. Dari kejadian tersebut mestinya PLN sudah menyiapkan back up plan sehingga tak lagi berpikir konvensional atau gagap saat kejadian seperti ini berlangsung.

Otonomi energi

Pelajaran berharga dari kasus ini adalah terkait tata kelola energi nasional. Memang kita masih berkutat pada masalah klasik, yakni soal tata kelola energi yang masih amburadul dan belum dirancang untuk melangkah ke masa depan. Ketika utilisasi listrik menyergap semua sektor kehidupan, ternyata Indonesia masih menghadapi rezim listrik byarpet.

Lemahnya, tata kelola energi nasional ini terlihat misalnya dari progres pengembangan bauran energi ke energi baru terbarukan (EBT) yang belum begitu menggembirakan. Padahal, EBT adalah masa depan energi dunia. Bangsa-bangsa di seluruh dunia berlomba beralih ke energi yang tetap menjaga langit biru ini.

Bahkan, bangsa sekelas China sekalipun, kontributor muntahan emisi karbon terbesar di dunia ini tercatat sebagai investor terbesar di sektor EBT. Sebesar 45% investasi energi terbarukan global tercatat berada di negeri Tirai Bambu tersebut.

Kemudian, bagaimana dengan Indonesia yang memiliki potensi pengembangan EBT yang amat besar? Mulai dari tenaga air, angin, panas bumi, hingga surya Indonesia memilikinya.

Pemerintah telah menyusun Dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 yang mencanangkan penggunaan EBT di Indonesia sebesar 23% dari total bauran energi nasional sampai tahun 2025. Harapannya bisa meningkat menjadi 31% pada 2050.

Ini merupakan realisasi dari Paris Agreement, yakni persetujuan yang disepakati dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2015 di Paris. Paris Agreement efektif berlaku pada 2020 hingga 2030.

Ketika itu, kami di pimpinan Komisi VII menjadi bagian dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP21) di Paris. Salah satu poin kesepakatan adalah upaya menekan peningkatan suhu bumi di atas dua derajat celsius. Isu ini menjadi perhatian semua negara.

Perubahan iklim ini tentu menarik. Apalagi, akhir-akhir Ibu Kota kita yaitu DKI Jakarta jadi sorotan karena kualitas udaranya yang ternyata sangat tercemar. Polusi dan pemadaman listrik adalah bukti konkret bahwa masalah tata kelola energi kita memang masih menghadapi jalan terjal yang juga terkait erat dengan isu perubahan iklim.

Di sektor EBT yang diharapkan jadi garda terdepan, saat ini baru terealisasi 12,3% untuk pembangkit listrik. Padahal, bila melihat sumber-sumber EBT yang tersebar di berbagai wilayah, target ini mestinya bisa dicapai lebih cepat. Bahkan, memungkinkan pusat pasokan energi terdistribusi lebih merata ke daerah.

Dampak turunan yang kita harapkan adalah daerah punya kemandirian energi. Bahkan bila EBT sudah jadi rezim kelistrikan di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan,  pengelolaan energi bisa saja diotonomkan ke daerah. Tujuannya, tata kelola energi terpusat yang biasa dikeluhkan oleh daerah bisa teratasi dengan adanya otonomi energi.

Untuk mewujudkan terobosan tersebut, tentu harus ada penyesuaian regulasi. Tapi, ini gagasan menarik agar daerah terpacu mengeksplorasi sumber energi alternatif yang memungkinkan bisa dipasok ke daerah lain. Dengan demikian, kemandirian energi dapat terwujud.♦

Tamsil Linrung Wakil Ketua Komisi VII DPR Anggota DPD RI terpilih Periode 2019-2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi