Tata kelola pertambangan rakyat jadi perhatian dalam RUU Minerba



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tata kelola pertambangan rakyat akan menjadi perhatian utama pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang tengah dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, semangat perbaikan kondisi pertambangan rakyat ditempuh guna memperkuat posisi rakyat layaknya kegiatan pertambangan yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan, pemegang Kontrak Karya, serta Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

“Selama ini pertambangan rakyat itu dalam ukuran kecil, termarjinalkan. Kami berusaha meningkatkan bargaining positition daripada pertambangan rakyat,” kata Bambang dalam siaran pers Kementerian ESDM, Kamis (30/4).


Baca Juga: Aturan izin pertambangan rakyat dalam revisi UU Minerba diminta diperketat, kenapa?

Dalam RUU Minerba, kriteria Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) akan diperluas dari sebelumnya 25 hektare menjadi 100 hektare. Begitu pun tambang cadangan primer mineral logam akan diatur kedalaman maksimal 100 meter, sedangkan pada aturan sebelumnya kedalaman maksimal hanya 25 meter.

“Ini dalam rangka memberikan rakyat lebih leluasa lagi melakukan kegiatan pertambangan,” tambah Bambang.

Dengan adanya kegiatan pertambangan rakyat yang lebih jelas, pemerintah berharap adanya sumbangsih baru dalam struktur pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi.

Penggunaan pendapatan daerah tersebut nantinya akan ditujukan untuk pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pemerintah akan terus memperkuat posisi rakyat supaya lebih eksis lagi dengan memberikan kriteria-kriteria kegiatan pertambangan. Kita mencari keseimbangan sesuai dengan ketentuan UUD pasal 33,” terang Bambang.

Untuk mengantisipasi sejumlah penyalahgunaan kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan kaidah aktivitas pertambangan, pemerintah menyiapkan sejumlah ketentuan ketat atas penggunaan bahan peledak maupun alat berat. Hal ini supaya tidak ada dampak pada kerusakan lingkungan, misalnya penambangan di sisir sungai.

“Kita harus bedakan rakyat mana. Kalau rakyat mampu, mereka tidak ada WPR, mereka harus punya izin tambang. Kalau sudah pakai alat berat, ya bukan rakyat, bukan di WPR. Makanya penyiapannya oleh Pemda dari lahan, eksplorasi sampai studi lingkungan itu harus ketat,” ungkap Bambang.

Baca Juga: Ini isu pokok dan pendukung dalam Revisi UU Minerba

Terkait celah bagi penambang ilegal, Bambang memastikan bahwa WPR dikelola oleh kelompok-kelompok kecil, bahkan BumDes, sehingga tidak bisa begitu saja dieksploitasi penambang ilegal.

“Jadi WPR itu diusulkan oleh Pemda, ditetapkan oleh Menteri. Saat ditetapkan, sebelum menentukan IPR, dokumennya harus lengkap. Jadi WPR itu tidak bisa begitu saja diajukan lalu langsung diterima,” ujar dia.

Pemerintah menekankan penegakan hukum yang benar-benar ketat untuk membasmi dan mencegah tingkah oknum yang lain dalam memanfaatkan pertambangan rakyat. “Makanya, law enforcesment ini harus benar-benar dilakukan agar seluruh aturan itu bisa dipatuhi,” tutup Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi