KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan penerapan tata kelola perusahaan alias
good corporate governance (GCG) emiten di dalam negeri dianggap belum berjalan secara maksimal. Beberapa waktu lalu, ada sejumlah emiten terkena masalah hukum. Misalnya ada AISA. Lalu belakangan ada Grup Lippo, diantaranya LPKR dan LPCK. Kedua emiten ini dituding tidak menerapkan GCG dengan baik, lantaran diam-diam mengalihkan kepemilikan Meikarta. Salah satu investor, Irwan Ariston Napitupulu mengatakan, salah satu alasan yang menyebabkan GCB menjadi kurang baik karena adanya kepentingan tertentu. Ia menjelaskan bahwa hal ini bisa saja karena ada hal yang kurang baik atau sebaliknya malah karena ada hal yang terlalu baik yang masih belum ingin diumumkan ke publik secara terbuka.
“Seperti contoh kasus SMCB beberapa waktu lalu. Sahamnya naik sangat signifikan, tanpa ada berita keterbukaan apapun dari emiten. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian, ada berita akuisisi oleh SMGR. Dan hingga saat ini saya belum melihat pihak otoritas bursa melakukan investigasi penyelidikan transaksi untuk memeriksa adanya kemungkinan transaksi yang masuk kategori
insider trading atau melakukan transaksi beli atau jual dengan memanfaatkan informasi internal perusahaan yang belum diumumkan ke publik,” jelasnya kepada kontan.co.id, Jumat (23/11). Irwan pun bilang sebenarnya ini masuk kategori pelanggaran serius di pasar modal yang terkait GCG juga, tapi cenderung seperti terabaikan. Namun jika dilihat secara keseluruhan, Irwan menyatakan bahwa sebenarnya penerapan GCG oleh sejumlah emiten sejauh ini sudah cukup baik dan perlu terus ditingkatkan lagi. Namun ia berpendapat bahwa sebenarnya emiten yang memiliki GCG baik, tidak otomatis kinerja harga sahamnya menjadi lebih baik di pasar dibanding kinerja harga saham dari emiten yang memiliki GCG kurang begitu baik. “Idealnya, memang sebaiknya semua emiten menerapkan GCG yang baik,” paparnya. Selanjutnya Irwan mengungkapkan bahwa cukup sulit untuk bisa memaksakan emiten untuk menjalankan GCG dengan baik meski sudah adanya peraturan terkait hal tersebut. Ia memberikan contoh seperti kewajiban memberikan laporan keuangan dan keterbukaan informasi tepat waktu.
Sebab ketelatan laporan keuangan tanpa disertai alasan yang jelas, sebenarnya titik awal indikasi menurunnya kualitas GCG dari emiten tersebut. “Sayangnya hal ini saya perhatikan kurang diperhatikan oleh pelaku pasar modal, baik itu investor ritel maupun beberapa analis,” lanjutnya. Di sisi lain, ia juga mengungkapkan bahwa investor ritel pada umumnya tidak setiap hari memantau perkembangan emiten yang ada di portofolionya, sehingga ia berharap para analis di sekuritas bisa memberikan peringatan lebih awal ke para nasabahnya, bila suatu emiten terindikasi meningkat risikonya. “Karena para analis memang bekerja tiap hari memantau perkembangan emiten,” tambahnya. Sementara itu, Sukarto Bujung malah memiliki pendapatan lain. Sebagai sosok sudah cukup kenyang pengalaman di dunia investasi saham, ia bilang dari sekian banyak emiten yang terdaftar di BEI, ia lebih memilih untuk membeli saham perusahaan yang memiliki GCG yang bagus dan bisa memberikan hasil yang baik. “Jadi menurut saya kalau GCG-nya tidak bagus, ya saya tidak beli, soalnya mau naik keberapa juga sahamnya,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati