Tata niaga gula kacau, pengusaha sarankan diversifikasi turunan gula



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tata niaga gula nasional dinilai perlu segera diperbaiki. Tidak hanya dari sisi peningkatan produktivitas, namun juga dari diversifikasi turunan gula. 

Pasalnya, saat Indonesia masih fokus pada peningkatan produksi, negara lain sudah mengembangkan turunan gula hingga tahap bioetanol. Akibatnya Indonesia semakin tertinggal jauh.

Avanti Fontana Periset Strategi dan Manajemen Inovasi dari Universitas Indonesia (UI), sekaligus Staf Khusus Kepresidenan menyatakan ada masalah di sisi on farm dan off farm pergulaan Indonesia. 


"Tata niaga tidak efisien, akibatnya produktivitas rendah dan tidak kompetitif, apalagi bila dibandingkan dengan luar negeri yang sudah punya berbagai produk turunan," kata Avanti kepada Kontan.co.id, Kamis (23/8) lalu.

Dalam catatan yang dipaparkan Avanti, pada 2015 produktivitas tebu mencapai 67,25 ton per hektar. Kemudian dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), produktivitas tebu di tahun 2016 sebesar 68,3 ton per ha. 

Padahal, pada 2010 produktivitas tebu nasional pernah mencapai 78,2 ton per ha. Artinya terjadi penurunan produktivitas petani tebu yang bila dihadapi dengan impor, tidak menjadi solusi kerakyatan.

Tak hanya produktivitas yang jadi masalah, namun impor gula industri dan konsumsi juga menyebabkan kacau pada tata niaga. Menurut Avanti, dengan adanya segmentasi berupa gula rafinasi industri, gula rafinasi konsumsi dan gula rakyat menyebabkan 'moral hazard' antara industri, konsumen dan petani.

Editor: Handoyo .